Trump Presiden AS, Apa Dampak Buruk bagi Pasar di Indonesia

Trump Presiden AS, Apa Dampak Buruk bagi Pasar di Indonesia

Oleh: Eko B Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group

DONALD Trump kembali menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). Hampir dipastikan pasar global akan penuh dinamika. Efeknya juga akan berpengaruh ke suluruh dunia, karena AS merupakan negara besar dengan perdagangan dunia yang besar. Indonesia juga akan terkena efek dari perubahan kebijakan AS. Bahkan, potensi ketidakpastian pasar keuangan akan terjadi pasca Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS.

Apa dampak bagi pasar keuangan di Indonesia?

Menurut catatan Infobank Institute, pada periode tahun 2016-2020, ketika Trump menjadi presiden, kebijakan paling diingat dunia adalah kebijakan proteksionisme, khususnya hubungan dagang China-AS. Juga, potensi pengurangan pajak korporasi. Pendek kata kebijakan ekspansi ekonomi AS.

Jadi, menurut Infobank Institute, kebijakan proteksionisme akan tetap dilakukan dengan mekanisme tarif yang lebih tinggi khususnya barang-barang dari China. Sementara hubungan dagang Indonesia-China tetap tinggi, maka perdagangan Indonesia ke China juga akan terpengaruh, karena rantai pasok barang-barang ke China-Indonesia relatif besar.

Diperkirakan, kemenangan Trump yang sebelumnya diprediksi oleh pasar, karena itu banyak aliran dolar masuk ke AS akan menyebabkan penguatan dolar AS. Kebijakan fiskal yang ekspansi ala Trump akan membawa pulang dolar dan akan menguatkan mata uangnya, termasuk dengan rupiah.

Nah, jika demikian, maka potensi penurunan Fed Fund Rate (FFR) juga semakin kecil ruang geraknya, karena ekspansi fiskal ala Trump. Jelas ini akan memengaruhi ruang gerak Bank Indonesia (BI) untuk melanjutkan penurunan BI-Rate. Hal ini tentu menjadi kalkulasi penting bagi BI untuk menurunkan suku bunga, karena ketakutan BI paling besar adalah merosotnya nilai rupiah akibat dolar “pulang kampung” yang meningkat.

Lebih serius tentu dampak kenaikan obligasi AS karena didorong oleh ketidakpastian kebijakan fiskal. Ini akan berpengaruh pada arus dana global, sehingga akan meningkatkan cost of borrowing bagi negara-negara berkambang, tak terkecuali Indonesia.

Lihat saja, peningkatan yiled treasury AS telah mendorong larinya modal ke luar, dan berdampak pada penurunan harga saham Indonesia dan tentu berpotensi menaikan yield obligasi negara. Hari-hari ini kenaikan US treasury akan mendorong larinya modal ke luar. Prospek Surat Berharga Negara (SBN) dengan kenaikan yield akan membawa kantong negara juga jebol lebih dalam.

Jadi, kemenangan Donald Trump atas Kamala Harris menjadikan pasar di Indonesia dalam jangka pendek menengah “nervous”. Pasar modal akan bekerja lebih keras menarik arus dana luar negeri, dan tentunya berpotensi melemah dan biasa-biasa saja. Penuh ketidakpastian dan peluang untuk menurunkan suku bunga jadi terhadang oleh kebijakan Trump yang proteksionisme dan ekspansi membabi buta.

Pemerintahan Prabowo pun akan menemui jalan yang tidak mudah, karena kenaikan yield surat utang negara. Itu artinya bunga utang untuk APBN juga makin besar.

Dan, perbankan pun akan hidup dengan suku bunga tinggi. Bank-bank akan menjaga kualitas kredit agar tidak macet akibat kebijakan proteksionisme dan kenaikan risiko akibat kenaikan suku bunga.

Kebijakan ketat yang akan dilakukan oleh BI. Hal ini akan berdampak pada mengeringnya kembali likuiditas di pasar. Karena, seperti biasa, BI akan membabi buta menjaga nilai tukar rupiah akibat dolar pulang kampung menyambut kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS. (*)

Related Posts

News Update

Top News