Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat, neraca transaksi berjalan pada triwulan IV 2018 kembali mengalami defisit sebesar USD9,1 miliar (3,57% PDB), atau meningkat sekitar USD500 juta dibandingkan dengan defisit di triwulan sebelumnya yang sebesar USD8,6 miliar (3,28% PDB).
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik BI, Yati Kurniati mengatakan, peningkatan defisit transaksi berjalan dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang nonmigas akibat masih tingginya impor sejalan dengan permintaan domestik yang masih kuat di tengah kinerja ekspor yang terbatas.
“Meningkatnya defisit transaksi berjalan tersebut sejalan dengan permintaan domestik yang kuat,” ujarnya di Jakarta, Jumat, 8 Februari 2019.
Meskipun demikian, kata dia, kinerja neraca pendapatan primer dan neraca jasa yang lebih baik dapat membantu mengurangi kenaikan defisit. Perbaikan neraca pendapatan primer terutama ditopang pembayaran bunga surat utang pemerintah yang lebih rendah, dan kenaikan surplus jasa perjalanan.
Baca juga: Sejak Orde Baru, Defisit Transaksi Berjalan Jadi Penyakit Ekonomi
“Antara lain didukung oleh penyelenggaraan Asian Para Games di Jakarta dan Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Bali,” ucapnya.
Secara keseluruhan tahun 2018, defisit neraca transaksi berjalan masih berada dalam batas yang aman, yakni sebesar USD31,1 miliar atau 2,98% dari PDB, terutama dipengaruhi oleh impor nonmigas yang tinggi, khususnya bahan baku dan barang modal, sebagai dampak dari kuatnya aktivitas ekonomi dalam negeri, di tengah kinerja ekspor nonmigas yang terbatas.
Kenaikan defisit juga didorong oleh peningkatan impor minyak seiring peningkatan rerata harga minyak dunia dan konsumsi BBM domestik. Menurutnya, BI terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah guna memperkuat ketahanan sektor eksternal, termasuk pengendalian defisit transaksi berjalan pada 2019 menuju kisaran 2,5% dari PDB. (*)