Banyuwangi – Pagelaran BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen 2025 di Taman Gandrung Terakota, Jiwa Jawa Resort Ijen, Banyuwangi, Sabtu, 9 Agustus 2025, tidak hanya memanjakan telinga penonton dengan alunan musik jazz, tetapi juga menghadirkan ragam karya seni rupa.
Berbagai karya dipamerkan antara lain instalasi batik bertajuk “Beta Jemur” telah meraih penghargaan UNESCO. Pameran ini menghadirkan 50 helai kain batik karya maestro asal Pekalongan, Dudung Ali Syahbana. Selain itu, juga ada pameran seni visual luar ruangan bertajuk Fora Fauna.
Kurator pameran Fora Fauna, Mikke Susanto, menyebut kesempatan memamerkan seni rupa visual di BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen sebagai sebuah anugerah. Sebelumnya, ia bersama tim juga berpartisipasi di BRI Jazz Gunung Bromo Series 1 dan 2 pada 19 dan 26 Juli 2025.
“Kali ini saya dan para dosen di ISI Yogyakarta, mengundang para alumni, mahasiswa, serta dosen untuk membawa karyanya masuk ke dalam pameran ini,” ujar Mikke saat pembukaan pameran batik dan seni rupa visual di Taman Gandrung Terakota, Sabtu, 9 Agustus 2025.
Dengan kolaborasi tersebut, tercatat sekitar 100 karya seni rupa visual tersebar di seluruh kompleks Jiwa Jawa Resort Ijen.
“Jadi, kalau mengajak keluarga, bisa saling dihitung, kira-kira berapa binatang yang ada di sini. Karena itu tajuknya memang kebun binatang seni,” jelas Mikke.
Baca juga: BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen 2025 Tetap Hangat di Tengah Hujan
Mikke menambahkan, kondisi alam sekitar yang masih asri mendorong para seniman untuk berkarya dengan tema Fora Fauna. “Fora adalah bentuk jamak dari forum,” tambahnya.
Bagi Mikke, pameran seni rupa visual bukan hanya soal tampilan estetis, tetapi juga menjadi media untuk menyampaikan isu lingkungan, sosial, dan politik.
Trio Celeng Karya Butet
Salah satu yang menarik perhatian adalah karya seniman sekaligus founder Jazz Gunung Indonesia, Butet Kartaredjasa, berupa tiga “celeng” (babi hutan). Masing-masing memiliki karakter corak dan warna berbeda, yakni celeng berbulu loreng, celeng berbulu beringin, dan celeng berbulu cokelat.
“Hari ini ketiganya sedang kompak. Celeng berbulu beringin, di otaknya cuma ada satu beringin,” ucap Butet.
Ia mengisahkan bahwa ketiga celengan tersebut diperolehnya pada 2017 ketika ia indekos di Karawaci, Tangerang, yang juga menjadi tempat pembuatannya. Celengan itu merupakan model zaman Majapahit yang ia cetak ulang dan warnai.
“Karena ada celeng dari Majapahit, saya merespons dengan mewarnainya. Inilah responsnya pada 2017. Baru hari ini, loh, kok ternyata bisa pas (dengan situasi sekarang),” tutur Butet.
Baca juga: BRI Jazz Gunung Series 3 Ijen 2025: Aturan, Jadwal, dan Harga Tiket
Butet menyebut kesesuaian antara karyanya pada 2017 dan kondisi saat ini sebagai “keajaiban semesta”. Menurutnya, penafsiran makna karya sepenuhnya menjadi hak penonton.
“Kalian punya imajinasinya sendiri-sendiri. Saya tidak perlu mendikte kecerdasan kawan-kawan semua,” jawabnya kepada awak media. (*) Steven Widjaja









