Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi InfoBank Media Group
OMAR Abdalla, bankir senior, era 80-an, pernah mengatakan, bank not only follow the business, but bank should able to creat the business. Bank tidak hanya mengikuti bisnis semata, tapi juga bisa menciptakan bisnis.
Tidak seperti sekarang, banyak bankir yang hanya bisa bilang, hati-hati saja. Atau, bankir cap “Celengan Semar”. Lantainya lagi licin, tidak bisa untuk menari. ”Ada pandemi COVID-19, Chief,” demikian katanya kepada Infobank.
Bankir cap “Celengan Semar” ini sikapnya super hati-hati. Sikap hati-hati tidaklah salah. Namun ciri utama bankir cap “Celengan Semar” ini — pekerjaannya asik membuat cadangan yang terlewat besar. Alasannya, waktu pemberian kredit masa sebelumnya tidak prudent, dan risiko ke depan terlalu besar. Pendek kata, itu sebagai pembatas manajemen lama dan manajemen baru.
Itu pulah lah lingkaran para bankir seperti dipertahankan dari bankir yang itu-itu saja. Sebab, jika diganti dengan pendatang baru, maka mereka juga takut akan “dendam” dengan praktek “bumi hangus” yang sama. Contoh yang sedang dibicarakan di kalangan bankir adalah merosotnya laba bank-bank BUMN. Semua memberi pencadangan di atas 200 persen. Bahkan, lebih dari itu. Lebih aman, katanya.
Tidak salah. Angka-angka Loan at Risk (LAR) yang tinggi (25-30%) menjadi satu alasan penting membentuk cadangan. Atau, alasan transformasi yang tampak keren dan sering terdengar akhir-akhir ini. Pokoknya, berbagai argumentasi diungkapkan ke media, kalau perlu cadangan besar seolah-olah besok akan “kiamat”.
Membuat cadangan besar juga tidak keliru, namun belakangan ini membuat cadangan tampaknya bukan semata-mata untuk antisipasi risiko yang lebih besar, melainkan motif untuk dinikmati dikemudian hari. Sambil menyelam minum air.
Perilaku itu, menurut catatan InfoBank Institute tampak nyata di laporan keuangan bank-bank yang habis membuat cadangan besar, selalu saja diikuti oleh peningkatan laba yang juga mendadak besar di tahun berikutnya. Pencadangan besar itu lalu diunduh menjadi laba, dampaknya tentu terhadap peningkatan bonus dan tantiem yang besar. Semua terasa indah.
Bisa jadi bukan motif bonus dan tantiem besar, tapi bisa jadi juga kecenderungan dinilai berhasil mengelola bank dengan baik. Hal ini juga tidak salah, namun sejatinya bukanlah sikap profesional.
Lebih dari itu, akan disebut bankir hebat karena berhasil keluar dari jebakan NPL dan mampu mencetak laba besar, meski sebagian besar dari menjual “tulang-tulang” kredit yang sebelumnya “dibumi hanguskan”. Strategi “bumi hangus” dan write-off yang besar ini kini menjadi diskusi panas para bankir.
Catatan Infobank Institute selama 15 tahun terakhir ini, ada tidak adanya krisis atau Pandemi COVID-19, setiap pergantian manajemen, pola “goreng-menggorang” kredit bermasalah ini selalu ada. Perhatikan perolehan laba yang besar, seolah-olah prestasi manajemen, padahal selama ini lebih banyak kontribusinya dari memecah “Celengan Semar”.
Perlu disimak dengan baik, mengapa laba bank-bank mendadak naik setelah strategi “bumi hangus”. Sebaliknya juga, penurunan laba yang mendadak besar itu — tentu merugikan pemegang saham. Apakah laba bank turun benar-benar sedrastis itu, atau hanya permainan akuntansi saja?
Jujur, penurunan laba itu berakibat tergerusnya hak dividen pemegang saham. Jika itu bank negara maka pertanyaanya; apakah ini potensi merugikan negara? Jika bank swasta, tentu pemegang sahamnya perlu tambah modal. Jika bank itu bank publik tentu merugikan investor publik.
Entahlah, yang pasti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebenarnya sudah memberi kemudahan dalam memperlakukan kredit “batuk-batuk” ini. Apakah OJK perlu juga memeriksa lebih dalam, atau OJK juga lebih tenang dengan pencadangan besar ini, karena banknya lebih aman. Lebih tahan banting, dan tidak bikin masalah pengawasan?
Restrukturisasi kredit tahap II dari OJK memberi ruang bagi bank dan debitur yang masih punya propek dan cash flow. Bahkan, OJK mengizinkan upaya restrukturisasi kredit sampai Maret 2022, dan karena itu seharusnya juga ikut membantu nasabah yang kesulitan akibat Pandemi-COVID 19.
Kerja keras bankir dibutuhkan, dan bukan malas dengan “tak-tik” hanya menjatuhkan seluruh kolektibilitas kredit yang “batuk-batuk”, dan kredit yang dicurigai akan “batuk-batuk” karena pekerjaan tim manajemen sebelumnya.
Langkah menjatuhkan kolektibilitas secara serampangan ini juga mempengaruhi tekanan pada perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang harusnya masih hidup, tapi begitu dijatuhkan, maka akan tamatlah fungsi perusahaan itu menggerakan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli.
Fenomena Lazy Bank
Pertumbuhan kredit saat ini merupakan yang paling rendah sejak krisis 1998/1999. Per Desember 2020 kredit tumbuh minus 2,41%. Tentu dapat disimpulkan, kondisi sektor riil sedang lelah. Kerja keras fiskal yang diungkapkan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI, belumlah membangunkan sektor riil.
Sebaliknya, bank-bank sedang basah-basahnya diguyur likuiditas. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mencapai 11,55%. Padahal, suku bunga acuan saat ini sudah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia. Tidak pernah terjadi, suku bunga rendah mencapai level 3,75% seperti sekarang ini.
Secara makro, suku bunga yang rendah dan tidak bisa mendorong kredit ini sama halnya mengidap liquidity trap – jebakan likuiditas. Menurut mazhab Keynes, liquidity trap – setiap penurunan suku bunga tidak mendorong konsumsi dan investasi.
Bisa jadi, situasi perbankan sekarang ini melanjutkan zona lazy bank. Lazy bank, menurut pengertian Infobank Institute, adalah bank-bank yang modalnya besar, loan to deposit ratio (LDR)-nya rendah, pencadangan besar, non performing loan (NPL) rendah, besar write-off, tapi pelit dalam pemberian kredit.
Julukan “lazy bank” menggambarkan suatu keadaan ketika bank lebih nyaman menikmati hasil kelolaan dananya di instrumen finansial, tapi “malas” dalam menyalurkan kredit. Padahal, esensi utama bank ialah menjalankan fungsi intermediasi.
Tentu, mengucurkan kredit secara sembarangan juga tidak bijak. Memberikan kredit itu mudah. Namun, memberikan kredit berkualitas baik dengan menghasilkan pendapatan bunga sangatlah sulit.
Menurut Infobank Institute, sebenarnya bank bukan tidak mau memberikan kredit, melainkan sektor riilnya yang sudah kelelahan. Banyak usaha yang sudah lelah akibat banyaknya larangan sebagai dampak dari pandemi COVID-19.
Bank dan dunia usaha seperti penari tango yang tidak bisa dipisahkan. Jika melihat data, banyak pengusaha yang sudah dikucurkan kredit oleh bank, tapi tidak dimanfaatkan atau dicairkan, atau istilahnya undisbursed loan. Sementara, banyak nasabah kelas premium melunasi kreditnya walau belum jatuh tempo.
Kredit tidak dicairkan, dan pelunasan kredit dengan alasan daya beli masyarakat masih belum pulih. Meski, sebelum krisis kesehatan ini ada angka undisbursed loan yang relatif besar. Namun, kini angkanya terus membesar. Sekitar 50%-60% kredit yang tidak dicairkan dari pipe line. Relatif besar.
Sudah waktunya kondisi gemuk likuiditas dan sulitnya bank-bank kencing kredit ini dicarikan jalan keluar. Jangan sampai kondisi ini berlarut-larut, yang akan berakibat pada net interest margin (NIM). Akhirnya laba makin turun, dan hidup bank hanya bergantung pada “Celengan Semar” atawa cadangan yang sudah disimpan sebelumnya.
Pembentukan cadangan yang besar tidaklah salah. Capital adequacy ratio (CAR) yang tinggi (22-23%) juga tidak keliru. Likuiditas yang banjir juga perlu. Posisi NPL yang rendah tentu diharapkan semua bankir. Namun bank tidak menjalankan fungsi intermediasi itu masalah besar.
Setidaknya, sekarang ini diperlukan bankir seperti digambarkan Omar Abdalla – yang tidak sekadar mengikuti bisnis, tapi juga mampu menginisiasi bisnis dengan cerdas. Bahwa sekarang resesi, itu tidak salah. Prinsip kehati-hatian juga harus dijalankan dengan baik.
Namun, bankir itu berbisnis dengan risiko. Kalau bawaannya takut, tentu ia bukanlah seorang bankir andal yang dibayar mahal, tapi bankir safety player atau istilahnya bankir cap “Celengan Semar”. Ia sukses karena menikmati “tulang-tulang” kredit dari pendahulunya. Ia hebat karena strategi “bumi hangus” kolektibilitas kredit. Bankir kelas ini tidak perlu kemahiran, tapi hanya perlu koneksi kuat saja.
Bankir hebat tentu tidaklah menderita disfungsi intermediasi. Tidak melakukan praktek “bumi hangus” secara membabi buta. Pokoknya kolektibilitas diturunkan semua, baik karena memang benar-benar “batuk-batuk” atau disengaja dibuat “batuk-batuk” karena takut hari depan “hujan badai” NPL.
Praktek penurunan kolektibilitas dengan dalih kehati-hatian ini bukan rahasia umum lagi. Tidak salah, tapi memalukan profesi bankir – jika motifnya lebih banyak akan diunduh menjadi laba di masa depan.
Masih adakah bankir kelas Omar Abdalla? Atau, memang perbankan Indonesia sudah masuk era lazy bank. Hidup bermalas-malas dengan “Celengan Semar”-nya. Dan, merasa nyaman dengan basah likuiditas serta CAR tertinggi di Asia. Cadangan jumbo. Tiap tahun melakukan write-off yang tidak kecil.
Padahal, kinerja perbankan saat ini penuh lipstik – kerena program massal restrukturisasi kredit, tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Atau, penurunan laba yang mendadak besar ini ingin menggambarkan kondisi sesungguhnya? Benarkah ekonomi Indonesia akan “kiamat”, dengan pembentukan cadangan yang jumbo sehingga labanya nyungsep?
Sekali lagi, saat ini kita butuh bankir seperti digambarkan Omar Abdalla. Bank not only follow the business, but bank should able to creat the business.
Dan, bukan bankir cap “Celengan Semar” atau “Lazy Banker”. Sayangnya, banyak bankir satu guru dan satu ilmu ini — yang sedang menguasai percaturan perbankan nasional. Jangan bangga kalau hanya menikmati hasil “rampasan perang” dari jurus “bumi hangus” kolektibilitas kredit ini.
Kita tanya dalam hati, termasuk bankir manakah kita ini? Bankir cap “Lazy Banker”, cap “Celengan Semar”. Atau, bankir seperti digambarkan Omar Abdala. Waktu akan membuktikan. (*)
Ayo Berlangganan Majalah Digital