Kisah ini menjadi bukti bahwa memang ada mafia di asuransi. Karenanya, tidak salah jika perusahaan asuransi berhati-hati dalam mencairkan sebuah klaim. Terutama, jika terjadi klaim-klaim yang tidak wajar atau mencurigakan.
Senada, pengamat Asuransi, Irvan Rahardjo mengungkapkan, model fraud di asuransi banyak macamnya. Bahkan tidak hanya di asuransi jiwa. Beberapa indikasi fraud di asuransi yang dilakukan konsumen diantaranya satu, adanya ketidaksesuaian anatara profil keuangan nasabah dengan nilai asuransi yang diminta. Modusnya, menutup asuransi pada beberapa tempat sekaligus dengan jumlah besar dengan profil keuangan yang tidak sesuai.
Dua, jika kondisi keuangan dan bisnis calon nasabah tidak sehat. Modusnya misalnya, kebakaran dalam keadaan stock barang menumpuk tidak laku atau nilai asuransi mendadak melonjak sesaat sebelum musibah.
Tiga, adanya riwayat pribadi dan penyakit calon nasabah yang relevan tidak diungkapkan kepada asuransi. “Modusnya mengajukan klaim penyakit yang tidak diketahui sebelumnya. Masih terjadi. Tapi tidak ada data resmi dari Polri maupun Asosiasi,” jelas Irvan.
Baca juga
Soal Kasus Allianz, INDEF Nilai Pengawasan OJK Lemah
AAJI: Kasus Allianz Jangan Dibesar-besarkan
Kasus Allianz : Ada Potensi Nasabah Lakukan Fraud
Bos Allianz Life Indonesia Jadi Tersangka
Karenanya, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kasus klaim asuransi Allianz Life, kata Irvan Rahardjo. Apa saja? Pertama, underwriter harus membatasi HCP ( Health Cash Plan – boleh double claim ) kepada poors people only ( Lihat risk profile BPJS 2013 -2016 loss ratio terendah pada Peserta PBI VS Peserta Mandiri loss ratio tertinggi utamanya penyakit katastropik )
Kedua, jual HCP secara selektif.
Ketiga, jangan jual HCP lewat agen.
Empat, edukasi agen sebagai field underwriter
Lima, hindari HCP untuk kejar volume, melainkan utamakan kualitas
Enam, batasi HCP jumlah minimal.
Tujuh, utamakan KYC ( Know Your Customer ), jangan hanya financial standing nasabah. “Moral standing lebih penting” tutup Irvan. (*)