Oleh Liz Dewayanti, Analis Keuangan
AKHIR-AKHIR ini kita banyak mendengar tentang meningkatnya ketidakpastian dalam sistem keuangan global, yang ditandai dengan indikator keuangan yang semuanya mengarah ke “red flags”. Salah satunya dan yang paling utama adalah tingkat suku bunga acuan negara-negara besar yang tetap tinggi karena inflasi yang persisten. Bank Sentral Eropa (ECB), Bank of England (BoE), dan The Fed masih mempertahankan suku bunga acuan di atas 5 persen sebagai upaya menahan inflasi.
Hal ini kemudian memicu red flags berikutnya, yaitu volatilitas di pasar obligasi global. Imbal hasil (yield) US Treasury 10 tahun sempat menembus 4,7 persen pada awal Mei 2025 – tingkat tertinggi dalam satu dekade terakhir. Kondisi ini sedikit banyak membuat kepercayaan terhadap kemampuan bank sentral dalam mengendalikan inflasi menurun. Berdasarkan survei Bloomberg, per kuartal I 2025, sebanyak 52 persen dari institusi keuangan global meragukan kemampuan The Fed mengendalikan inflasi tanpa menyebabkan resesi.
Hal lain yang juga cukup mengkhawatirkan adalah kenaikan utang negara-negara di dunia yang terus terlihat melonjak. Menurut data IMF pada April 2025, total utang negara-negara secara global telah melampaui USD315 triliun atau setara dengan 336 persem PDB dunia. Amerika Serikat (AS) malah mencatat utang sebesar lebih dari USD34 triliun.
Yang membuat red flags tersebut makin “menghantui” adalah adanya tekanan dari sisi geopolitik, yang menciptakan tekanan sistemis. Perang Rusia-Ukraina memicu kerentanan energi dan pangan global, sementara perang tak berkesudahan di Gaza memengaruhi harga minyak dunia. Bom terakhir, setidaknya sampai dengan saat ini, adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sangat menambah ketidakpastian, baik di pasar keuangan maupun di sektor rill.
Baca juga: Ajaib Kripto Ramal Harga Bitcoin Bergerak Positif di Akhir Kuartal I 2025
Ketidakpastian geopolitik dan meningkatnya rivalitas antarkekuatan besar telah menyebabkan pergeseran dalam aliansi moneter global – yakni bagaimana negara-negara memilih dengan siapa mereka melakukan perdagangan, mata uang mana yang dijadikan cadangan devisa serta mengatur kebijakan moneter berdasarkan perkembangan yang bisa dikatakan menuju “unchartered path”.
Tindakan pemerintah AS yang menggunakan dolar sebagai senjata ekonomi secara sepihak (dollar weaponization) – seperti yang mereka lakukan kepada Iran dan Rusia – menyebabkan kecenderungan terjadinya “dedolarisasi”. Naiknya Donald Trump yang membawa aliran kanan (America First, Make America Great Again) menambah tinggi risiko geopolitik tersebut.
Negara-negara seperti Tiongkok, India, Iran, Brasil, dan negara berkembang lainnya khawatir dolar AS dapat digunakan sebagai senjata politik dan ekonomi. Mereka mulai mempertimbangkan skenario: “Apa yang terjadi jika AS memblokir akses kita ke sistem keuangan global yang berbasiskan dolar Amerika?”
Sejumlah negara mulai mendiversifikasi cadangan devisa mereka agar tidak terlalu tergantung pada dolar. Menurut IMF, per 2024, proporsi cadangan devisa global dalam dolar AS telah turun dari 71 persen di 2000 menjadi sekitar 58 persen di 2024.
Hal-hal seperti ini, yaitu tekanan inflasi yang terus berlangsung, lonjakan utang negara, menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan bank sentral, dan kecenderungan penggunaan dolar AS sebagai senjata politik dan ekonomi menyoroti kerentanan sistem mata uang fiat terhadap manipulasi politik dan ekonomi. Ketika mata uang fiat atau mata uang tradisional makin rentan terhadap manipulasi politik dan moneter, investor dan perusahaan pun mulai mencari alternatif penyimpan nilai yang lebih tangguh. Di sinilah Bitcoin mulai tampil sebagai lindung nilai (hedging) strategis terhadap risiko mata uang fiat.
Berbeda dengan mata uang fiat – yang bisa dicetak tanpa batas oleh bank sentral – Bitcoin memiliki pasokan tetap sebesar 21 juta unit. Kelangkaan yang diprogram ini, ditambah dengan sifatnya yang terdesentralisasi, menjadikannya tahan terhadap tekanan inflasi dan intervensi pemerintah. Di negara-negara yang mengalami hiperinflasi atau kontrol modal, seperti Argentina, Turki, atau Lebanon, Bitcoin telah menjadi alat untuk mempertahankan nilai kekayaan dan melakukan transaksi lintas batas.
Adopsi Bitcoin ke dalam sistem keuangan mainstream bertambah besar dengan bertambah jelasnya regulasi terhadap Bitcoin. Hal terakhir yang terjadi dan itu menjadi faktor yang cukup signifikan terhadap penerimaan Bitcoin ke dalam sistem keuangan mainstream adalah perubahan regulasi di AS, yaitu pembatalan SEC Accounting Bulletin No. 121 (SAB 121) di 2024 yang lalu, beberapa saat setelah Trump menjadi Presiden AS.
Aturan yang diberlakukan pada 2022 ini mewajibkan bank dan perusahaan publik yang menyimpan aset kripto untuk mencatatnya sebagai liabilitas dalam neraca mereka. Ketentuan ini menjadi penghalang utama bagi bank dan kustodian besar untuk menawarkan layanan yang terkait Bitcoin (layanan kustodi maupun investment dan jual beli).
Pembatalan SAB 121 ini membuat bank kini dapat leluasa menawarkan jasa layanan kustodi Bitcoin (BTC) tanpa memberatkan neraca mereka dan ini pada gilirannya meningkatkan akses institusi terhadap layanan kustodi BTC, dengan Bank of New York Mellon, State Street, dan lain-lain meningkatkan jangkauan layanan kustodi Bitcoin mereka. Pembatalan ini, bersama dengan disetujuinya ETF spot Bitcoin dan kejelasan regulasi lainnya yang lebih baik, membuka arus masuk modal institusional yang baru dan mempercepat adopsi Bitcoin ke arus utama keuangan dunia.
Integrasi Bitcoin ke dalam sistem keuangan tradisional bukanlah kebetulan, melainkan respons terhadap retaknya fondasi tatanan moneter berbasis fiat. Dengan infrastruktur yang kian matang, regulasi yang berkembang, dan ketidakpastian makro-ekonomi yang meningkat, Bitcoin kini bertransformasi dari aset spekulatif menjadi aset strategis.
Di negara maju, investor institusional dan corporate treasurers mulai memandang Bitcoin bukan lagi sekadar aset spekulatif, melainkan sebagai lindung nilai jangka panjang seperti emas – namun lebih portabel, transparan, dan mudah diverifikasi. Bitcoin makin dipandang sebagai “emas digital.”
Kepemilikan kolektif secara global oleh negara-negara dan institusi keuangan meningkat sangat signifikan dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari 800.000 BTC atau 4,1 persen di 2022 menjadi
2.575.000 BTC atau 13,1 persen di 2024. Perusahaan seperti MicroStrategy, Tesla, dan Block Inc mulai mengalokasikan sebagian cadangan kas mereka ke Bitcoin, sebagai langkah lindung nilai terhadap depresiasi nilai mata uang.
Baca juga: Breaking News! BI Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 5,50 Persen di Mei 2025
Ini memicu pergeseran pemikiran di kalangan korporasi, meskipun masih dilakukan secara hati-hati. Strategi yang kini mulai diterapkan antara lain mengalokasikan sebagian kecil kas perusahaan ke Bitcoin, mempunyai eskposur tidak langsung melalui ETF Bitcoin atau layanan kustodian, dan inovasi keuangan berbasis blockchain seperti settlement on chain atau penyediaan likuiditas stablecoin. Pemerintah AS sebagai pemilik dolar pun meningkatkan kepemilikan Bitcoin dalam cadangan strategis mereka, naik hampir dua kali lipat dan akan berlanjut naik.
Meskipun volatilitas Bitcoin dan tantangan dalam akuntansi (seperti perlakuan impairment) masih menjadi kendala, legitimasi Bitcoin terus meningkat. Volatilitas adalah satu faktor yang sering menjadi kendala besar bagi para pelaku industri keuangan untuk mengadopsi Bitcoin dalam portofolio mereka.
Hal ini sebenarnya sangat bergantung dari apa tujuan kepemilikan Bitcoin tersebut. Kalau memang tujuannya adalah hedging dan investasi, dan bukan trading, performa Bitcoin sebenarnya sangat meyakinkan. Ten years annualized returns yang diberikan oleh Bitcoin – dengan segala volatilitasnya yang sangat bikin jantungan – kepada para holder jangka panjangnya mencapai sekitar 56 persen, jauh di atas imbalan yang didapat dari smart money investment yang berhasil beat the market (SnP 500) seperti private equity dan venture capital yang masing-masing memberikan imbal hasil sebesar 14 persen dan 11 persen (imbal hasil SnP 500 10 persen) (sumber: YouTube Michael Saylor Keynote Speech di event “Bitcoin for Corporation 2025”).
Melihat segala prospek Bitcoin di masa depan dan tren adopsi Bitcoin ke dalam sistem keuangan mainstream yang makin meningkat, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebenarnya mempunyai potensi untuk dapat menjadi bagian yang penting dan sekaligus memperoleh keuntungan besar dalam perkembangan Bitcoin ke depan sebagai emas digital, terutama terkait dengan kelemahan Bitcoin dari sisi carbon print kegiatan mining-nya yang dikenal sangat tinggi dan menuai kritik dari pemerhati climate change. Hal penting ini akan menjadi bahasan tersendiri terkait dengan Bitcoin dan dunia kripto pada umumnya. (*)
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More
Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More
Poin Penting ASII membuka Astra Auto Fest 2025 di BSD sebagai upaya mendorong pasar otomotif… Read More
Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More