Jakarta – ECPAT Indonesia sebagai lembaga independen menyebut, belum adanya aturan yang ditujukan khusus untuk mengawasi, memitigasi transaksi keuangan yang mencurigakan terkait kejahatan seksual anak.
Di mana, sebelumnya PPATK mengungkapkan, hingga semester I-2024 tercatat adanya transaksi perputaran uang mencapai Rp127,37 miliar yang diduga hasil dari prostitusi anak yang berjumlah sekitar 24 ribu anak, dengan frekuensi transaksi mencapai 130 ribu.
National Coordinator of ECPAT Indonesia, Dr. Ahmad Sofian mengatakan, beberapa regulasi di Indonesia terkait dengan kejahatan seksual anak masih terbatas pada Undang-Undang informasi transaksi elektronik, pelindungan anak, pornografi, kemudian hukum pidana dan perdagangan orang.
Baca juga : Gandeng ARSSI, Bank Mandiri Layani Transaksi Keuangan Perkuat Rumah Sakit
Lalu, peraturan yang terkait dengan keuangan atau finansial, antara lain, peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia (BI) tahun 2007, kemudian ada tentang implementasi terkait dengan teknologi keuangan, dan juga ada peraturan BI tahun 2018 tentang bagaimana manajemen transaksi elektronik, serta terdapat undang-undang tentang OJK yang berkaitan dengan finansial.
“Nah, dari sejumlah undang-undang dan aturan yang saya sebutkan tadi Itu belum ada aturan yang terintegrasi yang berkaitan dengan bagaimana mengawasi memitigasi transaksi keuangan yang mencurigakan terkait dengan pemanfaatan penyalahgunaan untuk kejahatan seksual anak,” ucap Sofian dalam Konferensi Pers ACOSEC di Bali, 7 Agustus 2024.
Baca juga : PPATK Sebut Ada Transaksi hingga Rp127,37 Miliar dari Kasus Prostitusi Anak
Kemudian, ia memberikan contoh dari negara Australia yang telah memiliki kebijakan nasional yang diperuntukkan bagi financial service provider agar dapat melakukan identifikasi dan menghentikan transaksi keuangan yang berkaitan dengan eksploitasi seksual anak.
“Jadi ada aturan dan itu diberikan otoritas kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan identifikasi apakah ini transaksi untuk eksploitasi seksual anak. Jika iya, mereka dikasih mandat oleh
undang-undang untuk menyetop transaksi itu,” imbuhnya.
Selain itu, dalam aturan tersebut terdapat financial intelligence yang dapat melakukan investigasi terkait dengan korban yang menerima pembayaran dari hasil kejahatan seksual dan selanjutnya dilakukan langkah-langkah mitigasi risiko ke depan.
“Karena itu nanti memang PPATK dan OJK itu didorong untuk segera membuat aturan tersebut kepada BI dan kalau sudah ada aturan di BI, lalu bank-bank itu melakukan seperti yang dilakukan di Australia tadi mengidentifikasi, jika ditemukan, mereka langsung stop dan korban diselamatkan dan pelaku dilaporkan,” ujar Sofian. (*)
Editor : Galih Pratama