“Pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan. Selebihnya no way, harus ditolak,” ucap Tulus.
Dia menambahkan, pihak perbankan dirasa tak pantas dalam menggali pendapatan yang lebih mengandalkan “uang recehan”. Seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top up. Apalagi banyak pengguna e-money dari kalangan menengah bawah.
Pihaknya juga dengan tegas menolak kebijakan BI tersebut dengan mendesak BI membatalkan kebijakan pengenaan biaya isi ulang uang elektronik tersebut. “YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut,” tutupnya. (*)
Editor: Paulus Yoga