Jakarta – Di tengah kemajuan teknologi informasi yang sudah serba digital (era digital), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk diminta untuk bisa berinovasi dalam melayani konsumennya. Dengan demikian perusahaan BUMN yang begerak di bidang telekomunikasi ini bisa bersaing di global.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Waki Ketua Komisi VI DPR-RI, Azam Azman dalam diskusi bertema “Menyoal Kinerja PT Telkom” di Jakarta, Selasa, 24 April 2018. Menurutnya, Telkom sebagai perusahaan BUMN harus bisa mengatasi persoalan kecepatan internet di Indonesia yang saat ini masih tergolong lambat.
Berdasarkan data Ookla, perusahaan pernyedia layanan uji kecepatan internet Speedtest, di akhir tahun lalu menyebutkan, Indonesia saat ini duduk di urutan 93 kecepatan internet fixed broadband dunia dengan mencatat angka download 13,38 Mbps, dan urutan 106 untuk kecepatan internet mobile global dengan kecepatan download 9,73 Mbps.
Di Asia Pasifik, kecepatan internet Indonesia tercatat lebih pelan dari Filipina (14,42 Mbps broadband, 12,35 Mbps mobile) serta hanya lebih kencang dari Myanmar (6,97 Mbps broadband, 11,72 Mbps mobile) dan Laos (9,52 Mbps broadband, 13,77 Mbps mobile). Sebaliknya, Singapura tercatat sebagai pemilik internet fixed broadband terkencang dengan kecepatan mencapai 153,85 Mbps.
“Speednya masih lambat dalam menghadapi era digital sekarang ini, sehingga kurang mendukung kondisi sekarang, kecepatannya kurang. Padahal negara kita itu negara luas. Tapi tidak mendukung daripada kebutuhan internetnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, keberadaan Telkom sangat penting untuk bisa mendukung kecepatan internet di tanah air. Terlebih, Satelit Telkom 1 yang sudah beroperasi lebih dari 15 tahun mengalami gangguan pada akhir Agustus 2017 lalu juga menjadi perbincangan. Seharusnya, umur Satelit Telkom 1 hanya sampai 2014. Kondisi ini tentu menjadi pertanyaan publik.
Baca juga: Telkom Cetak Laba Rp22 Triliun di 2017
“Terkait hancurnya satelit, harusnya ini tidak perlu terjadi, bahwa umur dari satelit itu harusnya hanya 15 tahun, artinya secara teknis diganti bukan diperpanjang lagi. Artinya ada kesalahan di manajemen Telkom,” ucapnya.
Lebih lanjut dirinya menegaskan, bahwa manajemen Telkom seharusnya tidak memutuskan untuk memperpanjang Satelit Telkom 1 yang hanya memiliki umur 15 tahun. Ia menyarankan ke Kementerian BUMN agar melakukan pembenahan terhadap manajemen Telkom, sehingga kasus serupa tidak terjadi lagi dalam ke depannya.
“Ini ada kesalahan manajemen dalam mengantisipasi ini. Dan itu harusnya keputusan manajemen yang harus dibenahi sehingga memerlukan biaya tambahan, maka dari itu agresifitas Telkom melambat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan digitalisasi,” paparnya.
Terlebih, di era yang sudah serba digital ini, Telkom seharusnya bisa memberikan layanan yang maksimal. Jangan sampai, perusahaan telekomunikasi asing mendominasi pasar Indonesia. Kondisi ini dikhawatirkan bisa berdampak pada industri telekomunikasi di tanah air. Maka dari itu, dirinya meminta agar Telkom bisa berbenah diri menghadapi era digital.
Sementara jika dilihat dari sisi kinerja PT Telkom, dirinya menyoroti, kendati perseroan mampu mencatatkan laba bersih sebesar Rp22,1 triliun pada 2017, atau tumbuh 14,43 persen dibanding laba 2016 yang senilai Rp19,35 triliun. Namun pertumbuhan laba 2017 lebih lambat dibandingkan laba 2016 yang mampu menanjak 24,94 persen (year-on-year/yoy).
“Ini menjadi sangat penting bahwa keberadaan Telkom ini harus lebih cepat pertumbuhan kinerjanya, kalau enggak akan tertinggal jauh, dan kalau saya lihat, perlu didukung oleh manajemen yang lebih baik, perlu didukung manajemen puncak yang lebih agresif yang lebih paham daripada era digital ini,” tutupnya. (*)