Jakarta – Tingkat pengangguran kini tengah menjadi isu hangat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang, dari sebelumnya pada Februari 2023 yang mencapai 7,99 juta orang.
Sementara tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2024 juga menurun menjadi 4,82%, dari sebelumnya pada Februari 2023 yang mencapai 5,45%. Meskipun menurun, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia terpantau menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara (ASEAN).
TPT di Jakarta saja, per Februari 2024 tercatat sebesar 6,03% atau lebih tinggi dibandingkan nasional yang berada di angka 4,82%. TPT sendiri adalah indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
Maka dari itu, dapat disimpulkan, bahwa dari 100 orang angkatan kerja, terdapat sekitar 6 sampai 7 orang penganggur di Jakarta.
Sementara itu, Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah pekerja nasional yang ter-PHK pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.
Baca juga : Dukungan Meningkat, Kamala Harris Berhasil Galang Dana Kampanye Rp3,2 Triliun dalam Sepekan
Jumlah kasus PHK di Jakarta sepanjang semester I-2024 adalah yang terbesar dibandingkan daerah lainnya yakni sebanyak 7.469 orang. Jumlah tersebut bertambah 6.786 orang atau 994%, hampir 1.000% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Departemen Tenaga Kerja AS mencatat, angka pengangguran melonjak menjadi 4,3 persen pada bulan Juli dari sebelumnya 4,1 persen pada Juni. Ini adalah bulan keempat berturut-turut angka pengangguran meningkat dan merupakan angka tertinggi sejak Oktober 2021.
Pertumbuhan lapangan kerja di AS menurun dari 179.000 lapangan kerja pada bulan Juni ke 114.000 di bulan Juli. Angka ini meleset dari prediksi sebagian besar ekonom yang menyatakan akan ada pertambahan 175.000 lapangan kerja pada bulan Juli.
Melihat kondisi tersebut, Chief Executive Officer (CEO) Citi Indonesia Batara Sianturi menyatakan terkejut melihat kondisi yang ada. Ia sebelumnya memperkirakan tingkat pengangguran di AS bakal naik 4,2 persen di bulan Juli. Kondisi itu, ia katakan, dapat memicu terjadinya resesi di AS.
Baca juga : Ekonomi RI Tumbuh 5,11 Persen di Kuartal I 2024, Sri Mulyani: Mampu Turunkan Pengangguran
“Yang big surprise di hari Jumat yang lalu adalah unemployment rate, bahwa unemployment rate is becoming a little bit non-linear, tadinya kan dibawah 4 persen; 3,8 persen, 3,9 persen, 4,1 persen. Kita pikir tadinya akan menjadi 4,2 persen, ternyata menjadi 4,3 persen,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 7 Agustus 2024.
“Then the acceleration of unemployment ini triggers concern on recession, dan karena inflation sudah melandai, and the only issue is now unemployment, sehingga this creates expectation that there is a need to cut the Fed rate in September. Karena kita melihat juga bahwa Fed itu kan mempunyai mandate untuk inflasi dan full employment. Inflasinya sudah beres, tinggal yang full employment ini,” imbuhnya.
Batara menegaskan, perlu ada pemangkasan suku bunga yang dilakukan bank sentral AS, The Fed, dalam beberapa bulan ke depan untuk meredam terjadinya resesi. Pihaknya memprediksi akan ada pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada September sebesar 50 basis points (bps), kemudian disusul 50 bps lagi pada November, dan pemangkasan 25 bps lainnya pada Desember.
Sementara itu, untuk di dalam negeri, ia jelaskan, akan ada tekanan juga untuk Bank Indonesia (BI) mempertimbangkan menurunkan suku bunga acuannya. Bank Indonesia, menurutnya, bakal melihat tren yang terjadi di AS dan The Fed dalam memutuskan pemangkasan BI rate.
“There’s gonna be a cut di September. Mungkin tinggal sizenya 25 atau 50 bps. So, we’ll see ya apakah untuk Indonesia ini it will be triggered di September atau beyond that. Tapi pandangan kita adalah nanti juga dengan dipicu rate cut The Fed pada September, BI bisa saja mengikuti atau mungkin sehari sebelumnya melakukan cut, namun tak akan sebesar daripada the first cut daripada The Fed,” bebernya. (*) Steven Widjaja
Editor : Galih Pratama