Jakarta – Setelah mengalami pelemahan PDB akibat Covid, perekonomian Asia Tenggara atau Asean sudah mengalami pemulihan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan PDB triwulanan wilayah Asean yang naik 4,7%, berbeda dengan pertumbuhan rata-rata PDB Asia Utara yang hanya sebesar 1,4%. Inflasi dan kenaikan suku bunga berkontribusi besar dalam menumbuhkan perekonomian Asia Tenggara.
Di samping itu, mulai pulihnya industri perhotelan, makanan dan minuman, penerbangan, kesehatan, layanan pariwisata yang didukung oleh dibukanya kembali perjalanan global, juga turut menopang pertumbuhan triwulanan tersebut. Kenaikan suku bunga juga menguntungkan lembaga perbankan karena adanya peningkatan pendapatan bunga bersih.
“Kartu kredit dan biaya transaksi juga diperkirakan meningkat seiring dengan pembukaan kembali dan pertumbuhan lebih tinggi angka PDB,” ujar Chief Investment Officer Bank DBS, Hou Wey Fook, pada paparannya secara virtual, Kamis, 13 Oktober 2022.
Hou menambahkan bahwa Indonesia tentunya menjadi salah satu negara di Asean yang diuntungkan dari kondisi tersebut. Inflasi menopang sisi ekspor komoditas Indonesia seperti batubara, gas alam, minyak sawit, logam (nikel, litium, dan kobalt) ke seluruh dunia. Namun demikian, Hou menuturkan, pergerakan suku bunga yang lebih tinggi, tidak serta merta membawa keuntungan untuk semua jenis sektor.
“Bank DBS melakukan analisis risiko di seluruh sektor dan menemukan bahwa perusahaan dengan peringkat investasi A/BBB adalah yang terbaik untuk mengatasi tingkat suku bunga tinggi, mengingat risiko pembiayaan mereka yang lebih rendah, fundamental kredit lebih kuat, dan arus kas yang dihasilkan lebih besar. Sementara itu, sektor energi dan material diperkirakan akan tetap kuat, sedangkan perusahaan utilitas dan konsumen justru akan menghadapi tekanan,” jelas Hou.
Ia kemudian menyarankan para investor untuk tetap selektif dalam memilih investasi aset swasta. Suku bunga yang lebih tinggi akan menciptakan risiko pada nilai utang yang otomatis ikut naik. Di mana hal ini menyebabkan kenaikan tingkat gagal bayar dan rintangan tersendiri dalam meraih modal. Sementara di sisi lainnya, aset dengan suku bunga mengambang dan dana lindung nilai yang diuntungkan oleh dislokasi pasar malah menguntungkan.
“Kami tetap menekankan alokasi ke berbagai aset swasta sebagai langkah diversifikasi, memahami nuansa setiap strategi akan bermanfaat bagi investor, terutama di era suku bunga tinggi. Pada triwulan ini, kami juga menggarisbawahi investasi pada barang mewah dan kesehatan sebagai penerima manfaat dari perubahan demografis dan pilihan gaya hidup baru,” ungkap Hou.
Sejalan dengan permintaan konsumen yang menguat, sektor bisnis barang mewah semakin menunjukkan tren penguatannya. Kondisi itu disebabkan oleh masifnya gaya hidup digital dan tingginya konsumsi Tiongkok belakangan ini. Sementara terlepas dari hambatan jangka pendek akibat gangguan pada rantai pasokan, Hou yakin bahwa segmen peralatan medis akan menghasilkan pertumbuhan kuat untuk industri kesehatan. Penduduk yang menua, prevalensi penyakit kronis, dan meningkatnya permintaan akan perangkat dan layanan inovatif mendukung potensi perluasan di sektor ini. (*) Steven Widjaja
Jakarta – Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) baru saja menghelat Securities Crowdfunding Day 2024.… Read More
Jakarta - Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar bisa menghindari middle income trap.… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini (22/11) ditutup… Read More
Jakarta – Maya Watono resmi ditunjuk sebagai Direktur Utama (Dirut) Holding BUMN sektor aviasi dan… Read More
Jakarta - PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) telah menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp158,60… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tegas melaksanakan langkah-langkah pengawasan secara ketat terhadap PT… Read More