Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo memproyeksikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR) akan mulai dipangkas pada semester II 2024.
Perry menyebutkan, FFR akan diperkirakan akan diturunkan sebanyak 3 kali dengan total 75 basis poin (bps).
“Bacaan kami menunjukkan kemungkinan FFR akan mulai turun pada semester II yang semula kami perkirakan dua kali, bacaan kami terakhir tiga kali sebesar 75 basis poin,” kata Perry dalam konferensi pers RDG, Rabu 17 Januari 2024.
Baca juga: BI Beri Sinyal, Ruang Penurunan Suku Bunga Acuan Masih Terbuka
Hal tersebut, kata Perry, didasarkan pada asesmen perekonomian, kondisi tenaga kerja, dan inflasi di AS. Penurunan inflasi di negara maju, termasuk AS berlanjut, meski masih berada di atas target sasaran.
Adapun, siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju, termasuk FFR, diprakirakan telah berakhir meskipun masih bertahan tinggi. Sejalan dengan itu, yield obligasi Pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, menurun secara gradual tapi masih berada di level tinggi.
“Ini sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah AS,” ujarnya.
Selain itu, tekanan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia juga berkurang. Perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing dan mengurangi tekanan pelemahan nilai tukar di emerging market, termasuk Indonesia.
Baca juga: Bank Mandiri Ramal The Fed Bakal Pangkas Suku Bunga 75 Bps di 2024
“Sekarang mulai kelihatan penguatan dolar mulai berhenti, bahkan kecenderungan melemah, memang karena masih ada ketidakpastian waktu dan besarnya FFR makanya pasar kadang on off. Jadi itu mereda ketidakpastian tapi tentu saja namanya pasar masih ada volatilitas,” ungkapnya.
Ke depan, Perry menyebutkan bahwa beberapa risiko global tetap perlu dicermati karena dapat memengaruhi ketidakpastian perekonomian dunia, seperti berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi di sejumlah negara utama, termasuk Tiongkok, serta kepastian waktu dan besarnya penurunan suku bunga moneter negara maju, khususnya FFR. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra