Jakarta – Sembilan pemimpin bisnis senior menceritakan pengalamannya dalam menyelesaikan krisis di perusahaan di buku The Art of Leadership in Crisis yang ditulis Karnoto Mohamad. Mereka adalah Mochtar Riady (memimpin BCA pada 1975), Dahlan Iskan (memimpin Jawa Pos pada 1982), Mu’min Ali Gunawan (memimpin PaninBank pada 1998), dan Djohan Emir Setijoso (memimpin BCA pada 1999).
Kemudian, Agus Martowardojo (memimpin krisis di Bank Mandiri pada 2005), Batara Sianturi (memimpin Citi Hungaria pada 2008), Elia Massa Manik (memimpin Elnusa pada 2011), Tigor Siahaan (memimpin Bank CIMB Niaga pada 2016), dan Ridha Wirakusumah (memimpin PermataBank pada 1997).
Salah satu praktik kepemimpinan di tengah krisis dilakukan oleh DE Setijoso yang ditunjuk memimpin BCA saat sedang berada di bibir jurang krisis pada Mei 1998. BCA yang sebelum digdaya tak kuasa di-rush nasabahnya setelah terjadinya kerusuhan massal pada 13 Mei 1998 yang mengakibatkan 122 kantor cabang BCA rusak parah dan 150 unit ATM hancur tak bisa digunakan lagi. Dana pihak ketiga di BCA yang sebesar Rp56,8 triliun menyusut menjadi Rp34 triliun dalam beberapa hari.
Baca juga: The Art of Leadership in Crisis, Elia Massa Manik Tangan Midas Spesialis Perusahaan Rusak
Pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kemudian mengambil alih kepemilikan Keluarga Salim dan menempatkan DE Setijoso untuk memimpin penyelamatan BCA. Bankir yang dikenal humble ini menilai BCA jatuh bukan karena kesalahan orang-orangnya, namun karena keadaan yang tak bisa dilawan. Setijoso meyakini bahwa BCA memiliki kemampuan untuk bangun kembali. Langkah-langkah penyelamatan yang dilakukan adalah;
Pertama, memulihkan kepercayaan (trust), baik dari karyawan maupun nasabah. Kepada para karyawan Setijoso memastikan bahwa BCA tidak akan dilikuiditas dan langkah simpatik yang dia tunjukkan adalah tidak akan melakukan PHK serta menggeser atau mengganti orang pimpinan satu pun. Tapi Setijoso juga tegas menyampaikan, “saya kini ditugaskan membawa BCA ke dalam kondisi yang lebih baik. Yang mau tetap bertahan ikuti apa yang saya atur. Jika tidak setuju, boleh meninggalkan BCA.”
Untuk memulihkan trust nasabah, BCA secara rutin menyampaikan pesan-pesan penuh harapan baik lewat iklan dan mengabarkan bahwa kondisi bank sudah beranjak baik, berkat dukungan dari pemerintah dan jaminan dana masyarakat.
Kedua, memulihkan likuiditas. Krisis membuat kondisi serba darurat. Sebagai langkah sementara, Setijoso dan jajarannya memberlakukan aturan batas penarikan harian kepada nasabah BCA dengan variasi limit Rp300 ribu sampai dengan Rp500 ribu per hari per nasabah.
Tiga bulan kemudian, setelah mendapatkan dukungan likuiditas dari BRI yang dipimpin Djokosantoso Moeljono yang masih menjadi Dirutnya dan BNI yang dipimpin sahabatnya, Widigdo Sukarman, BCA berani mengakhiri aturan batas penarikan dana dan dari situ kepercayaan nasabah pulih kembali. Menurut Setijoso, kepercayaan dan likuiditas adalah prasyarat utama dalam menyehatkan bank.
Ketiga, mengembalikan profitabilitas. Menurut Setijoso, setelah dipercaya dan memiliki likuiditas, barulah pihaknya mengembalikan bank itu profitable. Dengan diakhirinya aturan batas penarikan dana, sejumlah nasabah besar seperti Indofood, Indomobil, dan beberapa yang lain, kembali bertransaksi dengan BCA. Dengan kembalinya nasabah-nasabah besar bertrasaksi dengan BCA, likuiditas dapat dipulihkan kembali, dan berangsur-angsur penyaluran kredit dilaksanakan sehingga profitabilitas pulih kembali.
Empat, membangun lembaga dengan tata kelola yang baik. BCA pun melakukan langkah perbaikan dengan selalu menciptakan operational excellence dan standar operating procedure (SOP) yang berkaitan dengan itu. Langkah selanjutnya yang sangat vital bagi bank adalah risk management yang baik dan last but not least adalah human capital management yang transparan dan inspiring.
Baca juga: Rahasia Sembilan Business Leaders di Buku The Art of Leadership In Crisis
Setelah Setijoso sebagai Ketua Tim Kuasa Direksi dinilai berhasil memulihkan BCA dan bersama anggotanya pantas melanjutkan kepemimpinannya, maka pada 29 Desember 1999, DE Setijoso resmi diangkat sebagai Direktur Utama BCA. BCA dinyatakan sehat kembali dalam kurun waktu kurang dari setahun dan diantara jajaran bank yang berstatus BTO, BCA adalah bank yang lebih dulu sembuh.
Sebagai orang nomor satu di BCA, Setijoso berusaha mempertahankan pemulihan yang sudah diraih BCA melalui institution building. Dia juga telah mengubah BCA dari shareholder oriented yang mengutamakan kepentingan pemilik, menjadi stakeholder concept yang mengutamakan semua stakeholders. Dengan paradigma tersebut, objektivitas dalam pengelolaan bank terjaga. Pemegang saham dan management memiliki kedudukan masing-masing. BCA telah berevolusi menjadi bank yang dikelola oleh para profesional murni.
Seiring dengan perubahan kepemilikan dari BPPN ke Farindo Invesment pada 2022 kemudian ke Grup Djarum pada 2007, Setijoso tetap dipercaya memimpin BCA. Pada 12 Mei 2011, Setijoso menyerahkan tongkat kepemimpinan BCA kepada Jahja Setiaatmadja sebagai Direktur Utama BCA yang baru. Sejak itu sampai sekarang, Setijoso dipercaya menduduku Komisaris Utama BCA. (Redaksi)