Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar (Institute of Social, Economic and Digital/ISED)
PADA Oktober lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) telah melontarkan peringatan dini bahwa pertumbuhan ekonomi global pada 2023 nanti akan cenderung melemah. Lembaga ini juga memproyeksikan pertumbuhan global untuk 2022 ini tetap tidak berubah, sebesar 3,2%.
Namun, untuk 2023, IMF memperingatkan akan terjadi perlambatan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dunia menjadi 2,7% atau 0,2% lebih rendah dari perkiraan Juli lalu. Yang perlu dicermati, terdapat probabilitas sebesar 25% bahwa proyeksi itu masih bisa turun lagi hingga di bawah 2%.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat dari 6,0% pada 2021 menjadi 3,2% pada 2022 dan 2,7% pada 2023. Ini adalah profil pertumbuhan terlemah sejak 2001. Itulah pandangan IMF yang tertuang dalam dokumen Global Economic Outlook edisi Oktober 2022 lalu.
Menurut IMF, lebih dari sepertiga ekonomi global akan berkontraksi tahun ini atau tahun depan, sementara tiga negara atau kawasan terbesar, yaitu Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Tiongkok, akan melambat. Singkatnya, yang terburuk belum datang, dan 2023 bagi sejumlah negara akan terasa seperti resesi.
Kenapa bisa sedemikian buruk gambaran 2023 nanti? Ini semua lantaran invasi Rusia ke Ukraina yang sangat mengacaukan ekonomi global. Perang, dengan segala dampak kerusakan fisik dan nonfisik bangsa Ukraina telah menyebabkan krisis energi yang parah di Eropa yang secara tajam meningkatkan biaya hidup dan menghambat kegiatan ekonomi.
Banyak negara berpenghasilan rendah menghadapi kesulitan fiskal yang dalam. Pada saat yang sama, episode perang Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung telah meningkatkan potensi risiko geopolitik yang meluas. Maka, narasi prospek ekonomi global yang suram, mendung, kelabu, tidak pasti, penuh badai, dan mengkhawatirkan, telah memaksa para pengambil kebijakan di berbagai negara untuk selalu berada pada sikap waspada tinggi.
Sebagian ekonom global yang sangat concern mencermati perkembangan situasi dari waktu ke waktu meramalkan akan terjadi krisis keuangan global dalam takaran besar, jika para pengambil kebijakan gagal mengambil kebijakan yang tepat. Pergantian Perdana Menteri Inggris dalam periode pendek – dari era Theresa Mae, Boris Johnson, Liz Truss, dan kini Rishi Sunak – boleh jadi merupakan contoh nyata kesalahan pengambil kebijakan yang menimbulkan krisis politik di negara tersebut.
Inflasi dan Apresiasi Dolar AS
Aktivitas ekonomi global mengalami perlambatan yang lebih luas dan tajam dari perkiraan, dengan inflasi lebih tinggi dari yang terlihat dalam beberapa dekade terakhir. Krisis biaya hidup, pengetatan kondisi keuangan di sebagian besar wilayah, invasi Rusia ke Ukraina, dan pandemi COVID-19 yang berkepanjangan di beberapa negara semuanya sangat membebani prospek ekonomi dunia.
Di berbagai negara, khususnya di negara maju, inflasi telah melonjak ke level tertinggi sepanjang multi-dekade, yang mendorong pengetatan kebijakan moneter yang cepat, meskipun langkah ekstrem tersebut menekan anggaran rumah tangga. Namun, karena pilihan kebijakan yang tersedia tidak banyak, maka kenaikan suku bunga acuan yang agresif menjadi solusi pragmatis meskipun sejatinya menyakitkan bagi rumah tangga berpenghasilan menengah ke bawah.
Harga gas di Eropa telah meningkat lebih dari empat kali lipat sejak 2021, lantaran Rusia memotong pengiriman gas menjadi kurang dari 20% dari level kebutuhan mereka pada 2021. Langkah Rusia ini meningkatkan gambaran suram krisis energi di Eropa selama musim dingin berikutnya dan seterusnya.
Lebih luas lagi, konflik juga telah mendorong kenaikan harga pangan di pasar dunia, meskipun ada pelonggaran pengiriman terkait biji-bijian melalui Laut Hitam setelah tercapai kesepakatan, yang menyebabkan kesulitan serius bagi rumah tangga berpenghasilan rendah di seluruh dunia, dan terutama di negara-negara berpenghasilan rendah (low income countries).
Inflasi global diperkirakan naik dari 4,7% pada 2021 menjadi 8,8% pada 2022, tetapi akan menurun menjadi 6,5% pada 2023 dan menjadi 4,1% pada 2024. Kenaikan laju inflasi kian meluas di negara maju, dengan variabilitas lebih besar di negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah.
Inflasi diproyeksikan mencapai puncaknya pada kuartal ketiga di sebagian besar negara ekonomi maju, tetapi diperkirakan akan mereda pada kuartal keempat 2022 hingga 2023 di sebagian besar negara G20. Namun, diperkirakan akan tetap jauh di atas target bank sentral di sebagian besar negara.
Negara-negara di Eropa, yang perekonomiannya menanggung beban dari lonjakan biaya energi dibarengi dengan langkah pengetatan kebijakan moneter yang lebih lambat dibandingkan AS, akan terus berhadapan dengan outlook inflasi yang tinggi.
Sementara, outlook inflasi di negara-negara berkembang sangat bervariasi. Inflasi rendah dan stabil di Tiongkok, sedangkan di Brasil dan Meksiko diperkirakan akan melandai menuju target karena kenaikan suku bunga acuan mulai berlaku. Di Turki dan Argentina, inflasi diperkirakan akan mereda pada 2023 meskipun tetap pada level yang tinggi.
Ketika berbagai negara tengah berkutat mengendalikan inflasi, pada saat yang sama mereka juga harus menahan penguatan dolar AS yang di luar kelaziman. Bagi negara berkembang, penguatan dolar AS menjadi tantangan berat yang akut, memperketat kondisi keuangan, dan meningkatkan biaya barang impor yang berujung pada lonjakan imported inflation khususnya di negara importir. Dolar AS sekarang berada pada level tertinggi sejak awal 2000-an.
Secara logika, ketika perekonomian global diterpa “badai yang sempurna” (perfect storm), terjadi gejolak keuangan, lantas mendorong investor mencari perlindungan investasi ke safe-haven instrument, seperti US Treasuries, sehingga mendorong dolar AS menguat.
Memang, sejauh ini apresiasi dolar AS yang tajam sebagian besar didorong oleh kombinasi penyebab, yaitu kebijakan pengetatan kebijakan moneter di AS melalui agresivitas kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed (Fed Fund Rate/FFR) dan krisis energi yang makin mengkhawatirkan.
Kondisi tersebut mendorong munculnya respons temporer yang dipandang tepat di sebagian besar negara dengan mengalibrasi kebijakan moneternya untuk menjaga stabilitas harga supaya inflasi tidak melonjak, sambil membiarkan nilai tukar menyesuaikan diri sesuai fundamentalnya, serta menghemat cadangan devisa yang amat berharga ketika kondisi keuangan makin memburuk.
Faktanya, saat ini terdapat 90 bank sentral di dunia telah menaikkan suku bunga acuan, yang dimaksudkan untuk mengerem laju inflasi sekaligus menguatkan nilai tukar mata uang masing-masing negara terhadap dolar AS.
Jadi, apresiasi dolar AS yang “di luar kelaziman” saat ini bukan semata-mata karena faktor fundamental saja (tecermin dari pertumbuhan PDB tahunan AS sebesar 2,6% pada kuartal ketiga lalu), tetapi juga karena faktor sentimen bahwa The Fed masih akan melanjutkan langkah menaikkan FFR meskipun dengan level agresivitas yang menurun.
Senada dengan The Fed, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga memberikan sinyal kuat bahwa suku bunga akan naik lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, karena tekanan inflasi. Pada September lalu, BoE telah menaikkan suku bunga 0,5% ke level 2,25%. Kenaikan suku bunga berikutnya akan dilakukan pada 3 November nanti, setelah pemerintahan baru di bawah PM Rishi Sunak mengumumkan rencana fiskalnya.
Jeremi Hunt, Menteri Keuangan Inggris yang baru setelah pendahulunya Kwasi Kwarteng dipecat, telah mengonfirmasi bahwa pemangkasan pajak tidak akan dilakukan seagresif yang direncanakan pendahulunya. Pernyataan ini diperkuat oleh Gubenur BoE, Andrew Bailey, bahwa pejabat BoE tidak akan ragu-ragu menaikkan suku bunga demi menjaga target inflasi 2%.
Pelaku pasar menafsirkan pernyataan Bailey itu dengan ekspektasi kenaikan suku bunga sebesar 0,75%-1,0% pada 3 November nanti. Ibarat pepatah “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”, kenaikan suku bunga BoE akan melandaikan inflasi Inggris yang sempat menyentuh 10% sekaligus mengembalikan kekuatan pound sterling yang sempat terkoreksi tajam terhadap dolar AS.
Respons Kebijakan di Indonesia
Salah satu judul laporan IMF terkini menarik untuk menjadi rujukan, yakni terjadinya fenomena “melawan krisis biaya hidup”, terutama di negara-negara berkembang dan negara-negara berpenghasilan rendah. Kondisi ini mengonfirmasi adanya kebangkrutan di sejumlah negara yang telah meminta uluran tangan IMF untuk pemulihan ekonominya melalui dana talangan sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara.
Dalam konteks ini, kebijakan di berbagai negara nyaris generik, yakni adanya “kebijakan populis” untuk membantu warga masyarakat yang rentan secara ekonomi dan keuangan karena tertimpa krisis biaya hidup lantaran kehilangan pekerjaan dan sebagainya. Prioritas kebijakan fiskal untuk melindungi kelompok vulnerable melalui bantuan jangka pendek yang ditargetkan untuk mengurangi beban biaya hidup.
Kebijakan fiskal untuk kelompok rentan berupa anggaran bantuan sosial atau perlindungan sosial di masa pandemi dan sesudahnya menjadi penting, mendesak dan tepat untuk diimplementasikan. Maklum, kemampuan ekonomi dan finansial kelompok rentan menyusut lantaran digerus oleh inflasi tahunan yang mendaki menuju level 6%.
Untuk menjaga daya beli mereka, maka pemberian bantuan atau perlindungan sosial menjadi penting untuk dilakukan dengan mekanisme dan tata kelola yang baik. Di sini fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen stabilisasi, alokasi, dan distribusi menjadi nyata dan efektif untuk dijalankan dengan prudent.
Ada anggaran untuk stabilisasi harga kebutuhan pokok (termasuk bahan bakar minyak melalui subsidi) sehingga menciptakan keadilan di tengah masyarakat. Dalam hal ini implementasi kebijakan fiskal sebagai shock absorber menjadi strategi yang tepat dan jitu.
Ada alokasi anggaran untuk institusi pemerintah (kementerian/lembaga) guna mendorong operasional dan program kegiatan sesuai bidang tugas masing-masing. Secara fokus, ada alokasi anggaran sektor pendidikan (sesuai dengan amanat konstitusi sebesar 20% dari total belanja APBN), ekonomi (khususnya ekonomi hijau), sistem kesehatan nasional, bantuan dan perlindungan sosial, serta infrastruktur dan digitalisasi. Juga ada anggaran yang didistribusikan ke daerah-daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) untuk menopang operasional dan mendukung program kegiatan di daerah-daerah.
Di atas semua itu, untuk menghadapi tantangan global yang mengadang di depan dibutuhkan koordinasi, harmonisasi, dan sinkronisasi bauran kebijakan makro-ekonomi dan fiskal sehingga semua pemangku kepentingan secara kolaboratif mampu mengatasi berbagai masalah seraya mendukung pemulihan ekonomi nasional yang sedang berlanjut.
Optimalisasi koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang solid dan kompak yang setiap saat melakukan surveillance atau assessment terhadap perkembangan global/regional dan domestik yang mampu menghasilkan formulasi kebijakan yang pre-emptive dan forward looking menjadi salah satu “kartu truf” menjadikan perekonomian Indonesia tetap resilien dan tumbuh berkelanjutan.
Salah satunya adalah peran strategis Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas melalui kebijakan moneter yang front loaded untuk menjaga stabilitas harga dan menjangkar inflasi ke depan sesuai target 3% +/-1. Dengan terbatasnya likuiditas di sektor keuangan, diperlukan kebijakan makroprudensial yang akurat untuk mencegah risiko sistemik. Ketenangan pasar menjadi faktor pendukung pemulihan ekonomi nasional di tengah meredupnya ekonomi global.
Dengan demikian, asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 sebesar 5,3% rasanya logis dan wajar, setara dengan perkiraan berbagai lembaga internasional yang berkisar 4,7%-5,3%. Yang pasti, semua pihak boleh tetap optimistis meskipun dengan kewaspadaan yang tinggi serta menghindari sikap jemawa. (*)