Terus Alami Surplus, RI Bangkit dari Kerapuhan The Fragile Five

Terus Alami Surplus, RI Bangkit dari Kerapuhan The Fragile Five

Bali – Pada 2013 lalu, Investment Bank Amerika Serikat, Morgan Stanley menyebutkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam salah satu The Fragile Five yang bersanding bersama Brazil, Afrika Selatan, Turki, dan India. Negara-negara ini adalah emerging markets dengan potensi ekonomi yang luar biasa. Namun pada saat yang sama, sangat rentan digoyang.

Istilah The Fragile Five diperkenalkan oleh Morgan Stanley. Morgan Stanley menyebut, Indonesia dan negara lainnya tersebut dinilai rentan karena punya fundamental yang relatif rapuh. Fundamental itu diukur dari keseimbangan eksternal yaitu neraca pembayaran.

Namun demikian, selama 28 bulan terakhir ekonomi Indonesia berada pada tren surplus dan inflasi yang terjaga. Tren surplus yang terjadi dikarenakan komoditas yang mampu menggantikan financial flow, sehingga investor lebih tertarik untuk melakukan investasi di Indonesia.

“Rate yang stabil saat investor membeli aset di Indonesia dan saat menjualnya kembali dengan harga yang tetap stabil bisa menjadi daya tarik bagi investor. Jadi, pengembaliannya ke investor itu predictable,” ujar Batara Sianturi, Chief Executive Officer (CEO) Citi Indonesia dalam CEO Sharing and Awarding Ceremony – 13Th BPR Awards di Bali, Rabu, 21 September 2022.

Batara menambahkan, saat ini, core inflation di Indonesia hanya sebesar 3% dan inflasi utamanya masih disebabkan oleh inflasi pangan seperti cabai dan bawang. Selain itu, kestabilan inflasi juga disebabkan oleh ekspor yang terus dilakukan Indonesia ke negara-negara tetangga.

“Orang Indonesia terlalu banyak makan cabai dan cabainya itu tidak mau cabai botol harus cabai yang fresh. Tapi inflasi dari cabai atau bawang itu bisa turun lagi dengan stabil dan kita juga mengekspor karena panen bagus, kita ekspor beras ke China, ekspor ayam ke Singapura,” tambahnya.

Dia pun memprediksi, defisit fiskal Indonesia pada tahun 2023 akan terjaga dan kembali di bawah 3%. Terjaganya aspek itu, membuat tekanan Bank Indonesia (BI) untuk menaikan bunga tidak besar karena nilai komoditas yang sangat baik, ada nilai tambah untuk Indonesia menjadi produsen terbesar.

“Kalau kita lihat dari BI karena banking liquidity itu sangat baik, alat likuiditas dibagi dengan dana pihak ketiga(DPK) itu sekitar 27% tidak ada pressure untuk menaikan suku bunga di Indonesia,” pungkasnya. (*) Fatin

Related Posts

News Update

Top News