Bogor – Perubahan iklim telah menjadi perhatian global. Pemanasan planet, naiknya permukaan laut, bencana alam, perubahan pola curah hujan dan hilangnya keranekaragaman hayati adalah konsekuensi dari terjadinya perubahan iklim yang dapat menimpa berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Indonesia mengalami kenaikan permukaan 0,8-1,2 cm per tahun, sementara sekitar 65 persen dari populasinya tinggal di daerah pesisir. Selain itu, perubahan iklim akan meningkatkan frekuensi dan tingkat paparan terhadap bencana hidrometeorologis yang saat ini mendominasi 80 persen dari total bencana di Indonesia.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan mengungkapkan sejak tahun 2012 Kemenkeu telah aktif melakukan beberapa studi kebijakan dalam mendukung pembiayaan perubahan iklim dan digunakan sebagai dasar pengembangan inisiatif pendanaan anggaran perubahan iklim (climate budget tagging).
Baca juga: Dua Fraksi Dukung Program Makan Bergizi Gratis Masuk ke RAPBN 2025
Mekanisme tersebut diupayakan untuk meningkatkan transparansi pendanaan publik untuk pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Pada 2016, Kemenkeu mulai menerapkan mekanisme pendanaan anggaran perubahan iklim dalam APBN.
“Climate budget tagging adalah penandaan anggaran, secara harfiahnya anggaran itu diberikan tanda-tanda tertentu mana yang terkait belanja iklim. Tujuannya agar kami bisa identifikasi, mana anggaran yang terkait dengan perubahan iklim, dan apakah sudah dialokasikan secara efektif dan efisien, dan tentu untuk transparansi publik,” paparnya, dalam kegiatan media gathering dengan tema “Peran Kemenkeu dalam Mendukung Penanganan Perubahan Iklim” di Bogor, Rabu, 29 Mei 2024.
Boby mengungkapkan pelaksanaan pendanaan anggaran perubahan iklim sejak 2016 hingga 2022 telah mencapai Rp569 triliun atau 3,5 persen dari total APBN. Jika diperinci, komposisi dari pendanaan tersebut terdiri dari beberapa pos. Satu, sebanyak 58,4 persen atau Rp332,84 triliun untuk mitigasi berupa penurunan emisi gas rumah kaca terhadap baseline (industri hijau, pengelolaan limbah, energi dan transportasi).
Dua, sebanyak 37,6 persen atau Rp214,2 triliun untuk adaptasi berupa penurunan kerentanan, peningkatan kapasitas adaptif dan pengurangan kerugian ekonomi seperti air dan kesehatan.
Tiga, sebanyak 3,9 persen atau Rp22,4 triliun untuk co-benefit, yakni output berupa kegiatan mitigasi dan adaptasi secara bersamaan seperti kehutanan, pertanian, kelautan dan pesisir.
Baca juga: APBN Tahun Pertama Era Prabowo Bidik Ekonomi Tumbuh hingga 5,5 Persen
“Angka pendanaan anggaran perubahan iklim Indonesia sebesar 3,5 persen dari APBN ini sudah cukup bagus, walau belum terlalu banyak berpihak ke perubahan iklim, tapi negara lain itu biasa 2,5 persen atau di bawah. Jadi, ini sudah cukup bagus. Meski masih bisa ditingkatkan lagi,” tambah Boby.
Sementara, sejumlah daerah telah melakukan uji coba regional climate budget tagging (RCBT) pada 2020-2023. Rata-rata porsi anggaran perubahan iklim terhadap APBD berdasarkan pilot project, adalah sebesar 5,38 persen. Beberapa daerah telah memiliki anggaran perubahan iklim yang cukup signifikan, salah satunya Surabaya (19,53 persen) dan DKI Jakarta (12,74 persen).
“Namun secara nominal, DKI Jakarta memiliki anggaran perubahan iklim terbesar dengan rata-rata per tahun sebesar Rp76,16 miliar,” pungkasnya. (*) Ayu Utami