Terlalu! Pembobolan Rekening Dormant, Darurat Kepercayaan Bank

Terlalu! Pembobolan Rekening Dormant, Darurat Kepercayaan Bank

Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank

SUDAH lima dekade industri perbankan Indonesia berdiri dengan fondasi kepercayaan yang relatif kokoh. Isu rekening dormant (tak-aktif) hanyalah bagian dari teori risiko di buku-buku ujian sertifikasi risk management, bukan sebuah ancaman nyata yang mengguncang. Namun, belakangan ini kita disergap oleh sebuah kenyataan pahit: fondasi kepercayaan itu sedang retak, bahkan di ujung tanduk.

Fenomena pembobolan rekening dormant yang masif —dengan angka fantastis seperti Rp70 miliar dan Rp204 miliar—bukanlah sekadar insiden kriminal biasa. Ini adalah “gempa” susulan yang memperlihatkan kerapuhan struktural dalam tata kelola bank. Yang lebih mengkhawatirkan, data nasabah dormant konon telah jatuh ke tangan pihak di luar perbankan. Ini adalah malapetaka yang seharusnya tidak pernah terjadi.

Mengapa tiba-tiba dormant account menjadi sasaran dan terjadi setelah daftar rekening dormant jatuh ke beberapa tangan setelah Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), beberapa waktu lalu membekukan rekening dormant ini? Tidak mudah menjawab, tapi menurut catatan Biro Riset Infobank, selama 40 tahun terakhir tak pernah mendengar dan mencatat akan adanya pembobolan rekening tidak aktif ini. Tapi kini menjadi lahan subur dan incaran para pembegal rekening “tidur’ ini.

Meski, apapun alasannya PPATK tetap tak berhak membekukan rekening dormant, selain tak berhak tapi bisa bocor ke mana-mana ke tangan pihak yang tak berwenang. Bisa jadi pemblokiran rekening dormant menjadi inspirasi baru para “penggangsir” bank.

Menurut diskusi terbatas Infobank, setidaknya ada tiga hal yang perlu dikritisi.  Satu, data rekening yang “jatuh” dan terciptanya pasar gelap informasi. Adanya isu bahwa data dormant “jatuh ke pihak di luar perbankan” adalah titik kritis yang tidak boleh dianggap remeh. Hal ini mengindikasikan dua kemungkinan: kebocoran data internal (insider trading of information) atau kemampuan peretas eksternal menembus sistem yang dianggap aman.

Data dormant, dengan nilai nominal yang besar dan pemilik yang seringkali tidak lagi aktif memantau, adalah “harta karun” yang sempurna bagi jaringan kejahatan terorganisir. Ketika data ini berpindah tangan, terciptalah sebuah marketplace of crime di mana oknum bank dan penjahat bertemu.

Dua, telah terjadi perubahan lanskap kejahatan yang tidak diantisipasi. Selama 40 tahun, ancaman mungkin berasal dari perampok bersenjata atau pemalsuan cek. Kini, ancamannya lebih cerdas: kolusi “berjubah putih”. Industri perbankan terlalu lama berfokus pada mengamankan fisik pelayanan, tetapi lalai mengamankan “jiwa” organisasinya sendiri, yaitu integritas sumber daya manusia di level eksekusi. Kepercayaan buta pada kepala cabang tanpa sistem checks and balances yang modern adalah “bom waktu”.

Tiga, lemahnya deterrent effect (Efek Jera). Modus ini berulang karena pelaku melihat celah hukum dan prosedur yang bisa dimanfaatkan. Hukuman yang selama ini diberikan kepada “oknum” mungkin tidak cukup membuat jera jaringan yang lebih besar di belakangnya. Perbankan perlu menjadi pihak yang aktif mendorong proses hukum yang tidak hanya menyentuh pelaku lapangan, tetapi juga mengusut tuntas seluruh rantai kejahatan, termasuk penerima manfaat akhir (beneficial owner) dari dana yang dibobol.

Orang Dalam Membuka Pintu Belakang

Jika demikian, maka akar masalahnya bukan terletak pada kecanggihan teknologi penjahat semata, melainkan pada kolusi jahat antara “orang dalam” bank dengan pihak eksternal. Ancaman dari dalam (internal threat) inilah yang paling berbahaya. Sistem keamanan sehebat apa pun akan lumpuh jika ada aktor di dalam yang dengan sengaja membuka pintu belakang. Ini menunjukkan gagalnya proses screening, pengawasan internal, dan yang paling utama, lemahnya integritas budaya kerja (corporate culture) di sebagian bank.

Sementara konsentrasi terpecah untuk menangani dormant account, perbankan juga harus berhadapan dengan dua front pertempuran lain: serangan siber (cyber crime) yang kian masif dan sophisticated, serta yang tak kalah menggerus: kriminalisasi oleh aparat penegak hukum dalam kasus kredit macet.

Jujur. Harus diakui kriminalisasi ini menciptakan iklim ketidakpastian hukum yang membuat dunia perbankan kesulitan menjalankan fungsi utamanya, yaitu menyalurkan kredit dengan prudent. Bankir dibuat takut untuk mengambil keputusan bisnis yang sehat.

Dalam situasi krisis multidimensi ini, tanggung jawab tidak boleh hanya dibebankan pada masing-masing bank. Sudah waktunya bagi otoritas dan asosiasi untuk tampil lebih ofensif. Paling tidak, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bertindak lebih tegas, independen dan fundamental. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan.

Satu, melakukan audit besar-besaran dan pengetatan regulasi dormant account. Jadi, OJK harus segera memerintahkan audit khusus terhadap seluruh proses pengelolaan rekening dormant di semua bank. Regulasi harus diperketat.

Transfer dana dormant harus melalui otorisasi yang sangat ketat, melibatkan lebih dari satu orang kunci, dan wajib disertai pembuktian hidup (proof of life) nasabah yang tidak bisa dipalsukan. Setiap aliran dana dormant harus meninggalkan jejak audit (audit trail) yang sangat jelas dan diawasi langsung oleh OJK.

Dua, pembersihan dari dalam (internal cleansing), atau paling tidak OJK perlu mendorong—bahkan memaksa—bank untuk menerapkan sistem “tone from the top” dan pembangunan budaya integritas yang nyata. Paling tidak memastikan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) yang benar-benar independen dan melindungi pelapor harus menjadi standar wajib. Setiap indikasi “orang dalam” yang terlibat harus ditindak dengan sangat berat dan dijadikan contoh.

Sedangkan kepada asosiasi seperti Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) dan Ikatan Bankir Indonesia (IBI), juga hadir. Ini adalah momen bagi asosiasi perbankan untuk kembali hadir. Dari sekadar penyelenggara seminar, pelatihan, sertifikasi dan perayaan hari jadi, menjadi garda terdepan yang melakukan pembedahan menyakitkan untuk menyelamatkan nyawa industri perbankan.

Asosiasi Harus Hadir di Depan

Paling tidak memimpin inisiatif “Gerakan Bersih Dormant”. Jangan tunggu regulator. Perbanas dan IBI harus segera membentuk task force khusus yang terdiri dari pakar IT forensik, compliance, dan hukum. Task force ini memiliki mandat seperti menciptakan standar proteksi dormant nasional. Atau, satu protokol baku untuk seluruh bank anggota dalam mengelola dan mengakses rekening dormant. Standar ini harus lebih ketat dari ketentuan OJK sekalipun, menunjukkan komitmen tinggi industri perbankan.

Tidak hanya itu. Asosiasi bank paling tidak membuat deklarasi perang terhadap “kultur saling menutupi”. Budaya menutupi aib (sweeping under the rug) adalah “kanker”. Perbanas dan IBI harus mendorong anggota untuk transparan dalam melaporkan percobaan atau kasus pembobolan. Buatlah sistem pelaporan anonim internal di tingkat asosiasi, di mana karyawan bank mana pun bisa melaporkan kecurigaan tanpa takut dibungkam oleh pimpinannya.

Bahkan, asosiasi harus menjadi ujung tombak edukasi publik yang kritis. Dari pada membiarkan pemberitaan media menciderai kepercayaan publik, asosiasi harus proaktif. Luncurkan kampanye besar-besaran kepada nasabah: “Cek Rekening Dormant Anda Sekarang Juga!”, misalnya.

Juga, diperlukan edukasi nasabah tentang hak-haknya terkait rekening dormant. Atau, paling tidak memberikan panduan jelas bagaimana nasabah dapat mencegah rekeningnya menjadi dormant atau mengklaimnya kembali. Sekaligus, tunjukkan kepada publik bahwa industri serius membersihkan rumahnya sendiri. Ini akan mengalihkan narasi dari “bank yang bobol” menjadi “bank dan nasabah bersama-sama melawan kejahatan”.

Harus diakui, setelah pembobolan rekening dormant ini, perbankan berada pada titik kritis. Kepercayaan masyarakat, yang merupakan “oksigen” bagi industri perbankan, sedang terkikis oleh tiga penyakit sekaligus: kebocoran internal, serangan eksternal, dan tekanan hukum yang tidak fair, karena kredit macet yang dikriminalisasi.

Hanya berharap kepada OJK, Perbanas, IBI, dan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), serta seluruh pelaku industri  segera bergerak dengan langkah-langkah radikal dan berani. Sebab, kerusakan nama baik perbankan akan berimbas pada stabilitas sistem keuangan nasional. Ini bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan.

Dan, saat ini adalah waktu untuk bertindak, berkolaborasi, dan membangun kembali kepercayaan yang hilang. Jangan sampai kita menunggu “gempa” yang lebih besar lagi. Sebab, pembobolan rekening dormant sungguh mengagetkan, dan hari-hari ini merupakan “darurat” kepercayaan kepada perbankan. Kepercayaan perbankan harus dibangun terus menerus, paling tidak oleh perbankan sendiri.

Pembobolan rekening dormant ini sungguh terlalu, sehingga menempatkan perbankan masuk lorong “darurat” kepercayaan. Bayangkan! Selama 40 tahun lebih rekening dormant itu baik-baik saja. Tapi, setelah rekening dibekukan oleh PPATK, rekening dormant menjadi inspirasi kejahatan. Terlalu.

Semoga almarhum Mohamad Ilham Pradipta, Pimpinan Cabang Pembantu BRI yang menukar integritasnya dengan nyawa ditempatkan di sisi terbaik dari Tuhan YME. Ilham adalah simbol integritas perbankan yang tak mau melakukan kejahatan rekening dormant meski harus kehilangan nyawa. Kita percaya masih banyak, dan banyak lagi seperti Ilham di negeri yang “gemah ripah” dengan korupsi ini. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62