Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group
HIMPUNAN bank milik negara (Himbara) akan memonopoli pengelolaan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Bank non Himbara (bank swasta, BPD dan asing) “diharamkan” kelola DHE. Semua akan dimonopoli oleh bank-bank “pelat merah” (baca: Danantara). Era kompetisi, efisiensi dan tata kelola makin kabur di sektor perbankan. Ini langkah mundur dalam tata kelola ekonomi Indonesia jika kebijakan monopoli ini benar-benar diterapkan di tahun 2026.
Minggu lalu (3/12/2025), sektor perbankan dikejutkan tentang sosialisasi kebijakan baru dalam revisi PP No. 8 Tahun 2025 tentang DHE. Balied baru ini patut menjadi perhatian serius. Pemerintah, melalui aturan ini, melarang penempatan DHE di bank non-Himbara (bank swasta) dan memusatkannya hanya pada bank-bank Himbara (BUMN).
Alasannya, untuk memudahkan pengawasan dan meningkatkan likuiditas valas domestik. Namun, di balik narasi “optimalisasi” dan “penguatan tata kelola”, tersembunyi bahaya besar: monopoli, inefisiensi, dan langkah mundur dalam tata kelola ekonomi Indonesia.

Sebelumnya, eksportir memiliki kebebasan untuk menempatkan dan mengelola DHE di bank pilihan mereka—baik BUMN maupun swasta. Kini, kebebasan itu direnggut. Pilihan dipersempit hanya pada bank-bank Himbara. Mengapa pemerintah demikian kalut soal DHE ini?
Sejak aturan DHE Sumber Daya Alam (SDA) berlaku, sebuah paradoks memilukan terpampang nyata. Ada devisa masuk, lalu lenyap dari sistem keuangan domestik. Menurut data Biro Riset Infobank yang diolah, rata-rata 66 persen dari hasil ekspor SDA non-migas langsung dikonversi ke rupiah (Mar-Sept ‘25).
Dan, hanya sekitar seperlimanya yang bertahan sebagai valas di rekening khusus. Aliran ini bagai menimba air ke ember berlubang; cadangan devisa sulit terkumpul, pasar valas domestik pun dangkal. Rupiah senantiasa rentan karena pasokan valas terbatas, sementara arus modal keluar (outflow) melalui other investment terus mencengkram.
Apa yang diharapkan? Penguatan cadangan devisa operasional. Nah, dengan wajib simpan 50 persen dalam valas di Himbara, secara mekanis pasokan dolar dan valas lain dalam sistem perbankan domestik akan membengkak.
Juga, diharapkan akan terjadi pendalaman pasar keuangan yang ambisius. Inovasi penerbitan SBN Valas Domestik patut diapresiasi. Ini adalah upaya pertama yang serius untuk menciptakan instrumen investasi berdenominasi valas dalam negeri.
Selain itu, diharapkan akan terjadi efisiensi dan sentralisasi pengawasan. Memusatkan aliran DHE SDA yang masif hanya pada beberapa bank Himbara mempermudah tugas Bank Indonesia. Pengawasan lalu lintas devisa menjadi lebih fokus dan terpadu.
Bahkan, adanya insentif untuk penggunaan valas domestic. Nah, dengan memperbolehkan penggunaan DHE valas untuk modal kerja dan pengadaan barang tanpa syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang ketat, pemerintah memberikan fleksibilitas baru bagi eksportir.
Apa implikasi Negatif Ketika Melarang Bank Non Himbara?
Menurut diskusi terbatas Infobank Institute, setidaknya ada enam hal. Satu, kebijakan ini adalah bentuk sentralisasi yang berlebihan. Memusatkan aliran devisa hanya pada bank BUMN berarti menciptakan monopoli baru dalam sistem keuangan. Monopoli jarang membawa inovasi atau efisiensi. Justru, ia sering menjadi sumber inefisiensi, biaya tinggi, dan layanan yang lamban. Ada risiko inefisiensi dan moral hazard.
Dua, jujur kebijakan ini mengabaikan peran bank swasta. Bank-bank swasta nasional memiliki kemampuan treasury, jaringan internasional, dan layanan valas yang kompetitif. Mereka telah lama menjadi mitra eksportir dalam mengelola risiko valas dan kebutuhan modal kerja. Dengan meminggirkan peran mereka, pemerintah tidak hanya melemahkan sektor perbankan swasta, tetapi juga mengurangi pilihan eksportir—yang bisa berujung pada meningkatnya biaya transaksi dan berkurangnya fleksibilitas.
Tiga, wacana “pengawasan yang lebih mudah” adalah ilusi. Pengawasan yang baik seharusnya tidak bergantung pada pemusatan dana, melainkan pada sistem pengawasan yang transparan, teknologi yang mumpuni, dan regulasi yang adil bagi semua pelaku. Nah, jika Bank Indonesia kesulitan mengawasi bank swasta, maka yang harus diperbaiki adalah sistem pengawasannya, bukan dengan memusatkan dana pada segelintir bank. Kebijakan ini justru mencerminkan kelemahan otoritas, bukan solusi.
Empat, ada risiko politisasi aliran devisa. Dengan memusatkan DHE di bank BUMN, terbuka peluang besar untuk intervensi politik dalam alokasi dana. Apakah dana ini akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah yang tidak efisien? Atau untuk menutupi masalah likuiditas BUMN tertentu? Transparansi dan akuntabilitas menjadi taruhan. Dalam ekonomi yang sehat, devisa seharusnya dikelola oleh pasar dengan prinsip kompetisi, bukan oleh kepentingan politik.
Lima, kebijakan ini bertolak belakang dengan semangat desentralisasi dan kemandirian ekonomi. Indonesia seharusnya belajar dari sejarah. Ekonomi terpusat hanya menghasilkan inefisiensi dan ketergantungan. Eksportir, sebagai pelaku utama perdagangan internasional, seharusnya diberi keleluasaan untuk memilih mitra keuangan terbaik, bukan dipaksa untuk mengikuti kehendak birokrasi. Ada risiko peningkatan beban dan distorsi bagi eksportir
Enam, ada potensi pelarian modal terselubung. Eksportir yang cerdik mungkin akan mencari cara untuk menghindari aturan ini. Misalnya dengan under-invoicing, salah klasifikasi komoditas, atau memutar dana melalui entitas di luar negeri. Pengetatan di satu pintu bisa memicu kebocoran di pintu yang lain.
Monopoli Bukan Jawaban
Harus diakui kebijakan ini punya tujuan baik, yaitu meningkatkan cadangan devisa, pendalaman pasar keuangan, dan mendukung pembiayaan pemerintah melalui SBN valas. Namun, cara yang dipilih justru kontraproduktif. Alih-alih memperkuat, kebijakan ini berpotensi melemahkan daya saing eksportir, mengurangi inovasi perbankan, dan menciptakan risiko sistemik baru.
Pendek kata, sentralisasi di Himbara berisiko menciptakan monopoli de facto dalam pengelolaan DHE. Pemerintah seharusnya fokus pada menciptakan insentif, bukan paksaan. Misalnya, dengan memperbaiki iklim investasi, menyediakan instrumen keuangan valas yang menarik, dan memastikan sistem pengawasan yang adil dan transparan bagi semua bank. Monopoli bukan jawaban. Kompetisi dan kebebasan memilih adalah kunci kemajuan.
Narasi “kedaulatan devisa” dan “optimalisasi SDA untuk rakyat” kerap mengiringi kebijakan selama ini. Namun, bisa jadi itu adalah kedaulatan semu. Kedaulatan sejati terletak pada kemampuan mengolah bijih menjadi baterai, kelapa sawit menjadi biodiesel mutakhir, bukan sekadar menahan dolar dari ekspor bijih dan CPO.

Kebijakan monopoli DHE oleh bank Himbara adalah permainan finansial (financial engineering), bukan terapi struktural. Ia mengobati gejala (kurangnya valas), tetapi mengabaikan penyakit utama: ekonomi yang masih terkunci pada ekspor bahan mentah dan belum mengalami transformasi hilirisasi yang mendalam.
Dan, amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang pemanfaatan SDA untuk kemakmuran rakyat, tidak akan terpenuhi hanya dengan memarkir devisa di bank BUMN. Indonesia tidak boleh terjebak dalam nostalgia sistem terpusat yang justru akan menjauhkan kita dari visi Indonesia Emas 2045. Kita dorong tata kelola ekonomi yang inklusif, kompetitif, dan berpihak pada kemandirian—bukan pada monopoli. Ini kemunduran dalam tata kelola ekonomi. Jangan korbankan bank-bank swasta dalam kebijakan monopoli ini.










