Jakarta – Peraturan fintech lending atau peer-to-peer lending terbaru resmi diberlakukan dengan diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi atau POJK 10/2022 pada tanggal 4 Juli 2022.
Peraturan yang dinanti sejak lama oleh industri fintech lending ini, sekaligus mencabut peraturan fintech lending sebelumnya yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Pakar Hukum Fintech dan Keuangan Digital, Chandra Kusuma, menyambut baik diundangkannya peraturan fintech lending terbaru ini yang diharapkan semakin memperkuat tata kelola, manajemen risiko dan operasional serta komitmen perlindungan konsumen dan kepatuhan hukum dari pelaku usaha fintech lending.
“POJK 10/2022 ini sangat total meminta komitmen nyata para pelaku usaha yang telah berizin maupun calon penyelenggara fintech lending yang akan mengajukan permohonan perizinan baru untuk memprioritaskan perlindungan konsumen, manajemen resiko, governansi, kesehatan keuangan dan operasional serta sustainability perusahaan. Memang ketat dan tegas namun tujuannya baik. Tidak bisa main-main atau asal-asalan jika mau berbisnis di bidang usaha ini, atau nanti malah konsumen dan kredibilitas industri yang jadi korbannya,” ujar Chandra dikutip 18 Juli 2022.
Menurut Chandra, POJK ini sangat memperketat seleksi dan market entry requirement terhadap calon investor atau pelaku usaha baru yang hendak mengajukan perizinan di bisnis fintech lending dengan meningkatkan syarat minimum modal disetor sebesar 25 miliar. Jumlah ini meningkat drastis dari syarat modal disetor untuk pendaftaran sebesar 1 miliar dan perizinan sebesar 2,5 miliar dalam peraturan fintech lending yang lama.
Dengan demikian, kata dia, investor atau calon penyelenggara fintech lending yang sumber keuangannya tidak jelas atau fondasi finansialnya tidak kuat dan sehat akan sulit memperoleh izin. Kualitas penyelenggara lebih penting daripada kuantitas. Dengan syarat modal yang tinggi, secara tidak langsung calon penyelenggara diharapkan bisa memiliki perencanaan dan kesiapan finansial, operasional dan teknis yang jelas dan sistematis, serta komitmen yang tinggi untuk sustain the business in the long run.
“Jadi jangan sampai nanti ada calon investor atau penyelenggara yang setelah dapat izin tidak lama kemudian dijual izinnya untuk peroleh capital gain, sifatnya hit and run dan ingin untung cepat. Bisa juga ada investor yang ajukan izin tapi sumber atau kondisi keuangannya tidak jelas, tidak siap komitmen bisnis jangka panjang, cenderung mudah kolaps tanpa fundamental bisnis, operasional dan manajemen resiko serta komitmen perlindungan konsumen yang kuat.” ungkapnya.
Baca juga : Kehadiran Super App Fintech Perkuat Ekosistem Digital
Chandra mengatakan, di peraturan sebelumnya dengan syarat modal hanya 2,5 miliar untuk perizinan bahkan 1 miliar untuk pendaftaran, cukup mudah bagi investor yang tidak kredibel atau kompeten untuk memenuhi persyaratan permodalan.
“Kalau diperaturan yang lama, bisa saja ada individu atau institusi lokal atau asing yang cukup patungan dan jual asetnya hingga terkumpul 1 atau 2.5 milyar lalu berharap bisa memulai bisnis fintech lending tanpa pengalaman dan kompetensi yang relevan untuk berbisnis secara going concern dalam jangka panjang, tanpa kematangan dan kesiapan serta ketahanan finansial untuk berkompetisi dan bertumbuh secara sustainable dengan komitmen regulatory compliance dan consumer protection maksimal. Syarat modal dan ekuitas dalam POJK baru ini sudah tepat,” pungkas Chandra.
Sementara itu, Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, POJK 10/2022 ini diperuntukan untuk mengembangkan industri keuangan yang dapat mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan, mempermudah dan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat dan pelaku usaha melalui suatu layanan pendanaan berbasis teknologi informasi.
“Dalam rangka mengakomodasi perkembangan industri yang cepat dan lebih kontributif serta memberikan pengaturan yang optimal pada perlindungan konsumen,” jelas Anto dalam keterangannya (15/7). (*)