Tenaga Kerja dan Tren Reshoring Bisa Hambat Target Pertumbuhan 6% RI di 2045

Tenaga Kerja dan Tren Reshoring Bisa Hambat Target Pertumbuhan 6% RI di 2045

Jakarta – Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menyebut, terdapat sejumlah kendala bagi Indonesia untuk bisa memenuhi target pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen per tahun pada 2045.

Senior Country Economist ADB Henry Ma menjelaskan, tantangan pertama datang dari faktor tenaga kerja (labour scarring) sebagai dampak dari pandemi COVID-19.

Menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan efek negatif jangka panjang dari pengangguran, termasuk kemungkinan meningkatnya angka pengangguran dan penurunan upah pekerja pada masa depan.

“Lapangan-lapangan pekerjaan yang hilang selama pandemi, produktivitas yang hilang, potensi putus sekolah dari angkatan kerja yang sudah terjadi dan gangguan yang dialami anak-anak untuk memperoleh keterampilan pada masa penutupan sekolah,” kata Ma seperti dinukil VOA Indonesia, Jumat, 29 September 2023.

Baca juga: Pemulihan Ekonomi Global Masih Dibayangi Risiko Ketidakpastian

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 3,6 juta orang atau 1,7 persen dari penduduk usia kerja terdampak COVID-19 per Februari 2023. Di mana, sekitar 3,07 juta orang mengalami pengurangan jam kerja akibat COVID-19, sedangkan pengangguran karena COVID-19 tercatat mencapai 0,20 juta orang.

Pada Juni lalu, pemerintah meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 atau “Visi Indonesia Emas 2045”, bertepatan dengan satu abad Kemerdekaan Indonesia.

Untuk transformasi ekonomi, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen per tahun agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap atau perangkap pendapatan menengah pada 2041 dan menuju kelompok negara berpenghasilan tinggi.

Lanjutnya, untuk tantangan kedua adalah menguatnya tren reshoring alias perusahaan-perusahaan yang merelokasi kegiatan produksi atau manufakturnya kembali ke negara asal perusahaan dari sebelumnya di luar negeri.

Menurutnya, tren perusahaan-perusahaan yang ‘pulang kampung’ itu bisa menghambat ekspor Indonesia. Selain itu, ekspor Indonesia juga diperkirakan menghadapi hambatan dari sejumlah kebijakan lingkungan, seperti yang diberlakukan oleh Uni Eropa.

“Dan seperti kasus terkait kebijakan Uni Eropa, misalnya, yang menjatuhkan sanksi bagi negara-negara yang mengalami penggundulan hutan atau menerapkan yang disebut dengan penyesuaian batas karbon,” jelasnya. 

Namun, di sisi lain, ADB menilai sejumlah sektor yang berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi pada masa depan. Hal tersebut, tak lepas dari langkah Pemerintah Indonesia memanfaatkan masa pandemi untuk melakukan reformasi struktural.

Langkah reformasi struktural tersebut, yaitu dengan pengesahan sejumlah omnibus lawsatau undang-undang (UU), antara lain UU Cipta Kerja, Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan sejumlah aturan lainnya, kata Ma.

Baca juga: Kemenkeu ‘Pede’ Ekonomi RI Tembus 5,2 Persen di 2024, Ini Penopangnya

“Penerapan sejumlah reformasi tersebut bisa mendorong potensi pertumbuhan Indonesia,” kata Ma.

Untuk jangka pendek dan juga jangka panjang, Ma mencatat, transisi energi global akan mendorong permintaan komoditas andalan, seperti nikel, litium dan energi terbarukan yang akan menguntungkan Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia juga punya rekam jejak manajemen makro ekonomi yang baik, imbuhnya.

“Seperti yang sudah saya katakan pertumbuhan rendah yang stabil, inflasi yang rendah dan stabil serta kebijakan fiskal dan moneter yang berhasil,” ujarnya.

Kelebihan lainnya, kata dia pasar domestik yang besar akan melindungi Indonesia dari perubahan perdagangan global. “Dan yang terakhir, Indonesia mempunyai potensi untuk mendapatkan keuntungan dari bonus demografi karena angkatan kerjanya yang masih muda,” pungkasnya. (*)

Editor: Rezkiana Nisaputra

Related Posts

News Update

Top News