Jakarta – Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang menetapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap Indonesia berpotensi memberikan dampak negatif terhadap industri perbankan nasional, khususnya dalam bentuk peningkatan risiko kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL).
Pengamat Perbankan, Paul Sutaryono menjelaskan, kebijakan tarif resiprokal Trump berpotensi mendorong terjadinya depresasi nilai tukar rupiah. Bagi sektor perbankan, pelemahan rupiah akan memengaruhi pengelolaan transaksi treasury dan kredit valuta asing (valas).
Adapun transaksi treasury yang dimaksud meliputi penempatan dana (placement), pertukaran mata uang asing (foreign exchange) dan pasar uang (money market).
“Ketika depresiasi rupiah semakin dalam, tentu saja bank harus semakin hati-hati dalam mengelola transaksi treasury dan kredit valas,” ujar Paul saat dihubungi Infobanknews, Kamis, 10 April 2025.
Baca juga: Trump Tunda Tarif Resiprokal 90 Hari, Kecuali untuk China
Kenaikan Biaya Operasional Bisa Picu Lonjakan NPL
Paul menambahkan, depresiasi rupiah dapat menyebabkan NPL perbankan meningkat apabila nasabah berbasis ekspor tidak mampu menanggung kenaikan biaya operasional yang dipicu oleh tarif impor Trump.
“Bisa jadi NPL berpotensi naik ketika nasabah berbasis ekspor tak mampu lagi mengatasi kenaikan biaya operasional gegara kenaikan tarif impor AS itu,” imbuh Paul.
Manajemen Risiko Jadi Kunci
Meski demikian, Paul menilai, potensi risiko ini tidak akan memberikan dampak besar terhadap fundamental perbankan nasional.
Baca juga: Erick Thohir Tunjuk CEO Jhonlin Group Ghimoyo jadi Dirut ID Food
Namun, ia menekankan pentingnya peningkatan manajemen risiko secara berkelanjutan sebagai langkah mitigasi terhadap dinamika pasar global.
“Tetapi bank wajib terus menerus meningkatkan penerapan manajemen risiko terlebih risiko kredit (credit risk) dan risiko pasar (market risk),” tegasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra