oleh Diding S Anwar
SETELAH merayakan Idulfitri 1438 H di daerah asal masing-masing, penduduk Jakarta dan sekitarnya berduyun-duyun kembali ke Ibu Kota. Seperti tahun-tahun sebelumnya, arus balik pemudik yang tahun ini diperkirakan mencapai 18 juta orang pun disertai dengan puluhan ribu orang pendatang yang memasuki Ibu Kota Jakarta. Itu belum pendatang dari desa yang memasuki kota lain di seluruh Indonesia.
Kita tidak bisa menyalahkan penduduk desa yang pergi ke kota untuk mencari kesempatan kerja atau penghidupan yang lebih baik. Apalagi, mereka berniat untuk produktif dan melihat berbagai jenis pekerjaan yang memang tersedia di perkotaan. Namun, arus urbanisasi yang terbilang tinggi bisa memunculkan berbagai masalah sosial ekonomi karena tak semua orang yang datang ke kota memiliki keterampilan yang cukup sehingga tidak terserap di dunia kerja.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2005 penduduk Indonesia mayoritas masih berada di perdesaan dengan porsi 51,6%. Namun, pada 2010 penduduk yang tinggal di perdesaan berkurang menjadi 45,8% dan menyusut menjadi 40,7% pada 2015. Dengan kenaikan jumlah migran sebesar 2,7% per tahun, maka pada 2025 penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan tinggal 32,3%. Sri Mulyani, Menteri Keuangan, bahkan menyebutkan bahwa laju urbanisasi di Indonesia mencapai 4,1%, mengalahkan India 3,8% atau Tiongkok 3,1%.
Menyikapi derasnya arus urbanisasi, kita dihadapkan pada dua tantangan. Satu, kebutuhan infrastruktur, seperti air bersih dan perumahan. Jika saat ini backlog perumahan masih mencapai 13,5 juta, arus urbanisasi yang besar akan meningkatkan kebutuhan papan yang besar pula.
Dua, kebutuhan pasokan pangan. Desa merupakan basis produksi pangan, dan apabila masyarakat desa berbondong-bondong datang ke kota, lalu siapa yang mengerjakan lahan pertanian.
Dua kepentingan itu sama-sama membutuhkan lahan dan sumber daya manusia (SDM). Berbeda dengan negara tetangga, seperti Singapura atau Malaysia, Indonesia memiliki penduduk yang besar, mencapai 255 juta jiwa. Indonesia lebih mirip dengan India yang memiliki kebutuhan pangan sangat besar.
Bila kepada Singapura kita patut belajar mengenai infrastruktur dan pelayanan publiknya, kepada India kita perlu belajar bagaimana negara itu menjaga ketahanan pangan. Didukung kebijakan pemerintahnya, 600.000 desa di India menjadi basis produksi pertanian sehingga negara berpenduduk 1,27 jiwa itu mampu mengekspor bahan pangan ke negara lain. (Bersambung ke halaman berikutnya)