Semakin sengitnya persaingan di industri jasa keuangan akan berpengaruh negatif terhadap kinerja perbankan syariah karena masih terkendala beberapa masalah seperti keterbatasan modal, sumber dana, SDM dan TI yang belum memumpuni. Rezkiana Nisaputra
Jakarta–Perbankan syariah diharapkan turut berkonstribusi dalam mendukung transformasi perekonomian pada aktivitas ekonomi produktif, bernilai tambah tinggi dan inklusif, terutama dengan memanfaatkan bonus demografi dan prospek pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga peran perbankan syariah dapat terasa signifikan bagi masyarakat.
Semakin besar pertumbuhan perbankan syariah, maka akan semakin banyak masyarakat yang terlayani. Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi rakyat di negeri ini. Perbankan syariah seharusnya tampil sebagai garda terdepan atau lokomotif untuk terwujudnya financial inclusion.
Namun dalam pengembangannya, perbankan syariah menghadapi sejumlah tantangan yang harus dihadapai dengan berbagai macam langkah strategis. Oleh sebab itu, diharapkan perekonomian nasional di 2016 akan semakin pulih terutama dengan banyaknya proyek-proyek infrastruktur dan semakin baiknya pemerintahan pusat dan daerah dalam penyerapan anggaran.
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Agustianto Mingka menilai, dalam pembangunan proyek infrastruktur yang sedang gencar-gencarnya dilaksanakan pemerintah, seharusnya perbankan syariah dapat mengambil peran. Dalam hal ini bank-bank syariah dapat melakukan pembiayaan sindikasi baik sesama bank syariah maupun bergabung (bersindikasi) dengan bank-bank konvensional.
Diprediksikan bahwa 2016, pertumbuhan aset perbankan syariah diperkirakan sekitar 15%. Dengan demikian pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan pembiayaan masih berkisar di angka tersebut. Meskipun program sekuritisasi aset perbankan syariah akan dilakukan di Indonesia terhadap perbankan syariah, tampaknya, program ini baru jalan di awal tahun 2017, kecuali lembaga penerbit EBA SP Syariah bergerak lebih cepat.
Dia mengungkapkan, di tahun 2016 akan diwarnai oleh tingkat kompetisi bisnis jasa keuangan yang semakin ketat, karena mulai berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) dimana untuk industri perbankan hal ini tertuang dalam ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Semakin sengitnya persaingan di industri jasa keuangan akan berpengaruh negatif terhadap kinerja perbankan syariah karena masih terkendala beberapa masalah seperti keterbatasan modal, sumber dana, SDM dan TI yang belum mumpuni.
Sementara dalam rangka mengembangkan industri perbankan syariahu untuk menjadi pemain yang unggul dan berperan signifikan di Indonesia, terdapat beberapa tantangan dan strategis yang harus menjadi prioritas bagi stakeholders perbankan syariah. Pertama, yakni inovasi produk keuangan dan perbankan syariah yang merupakan pilar utama dalam pengembangan industri perbankan syariah.
Bank-bank syariah harus memiliki produk inovatif yang makin beragam agar bisa berkembang dengan baik. Upaya ini mutlak dilakukan karena bank syariah akhir-akhir ini mengalami pelambatan pertumbuhan bahkan penurunan market share dibanding konvensional. Inovasi produk bank syariah adalah sebuah keniscayaan, agar bank syariah bisa kembali tumbuh dan bersaing dengan perbankan konvensional maupun lembaga lain.
Sebenarnya banyak peluang bisnis yang menguntungkan bagi perbankan syariah, seperti international trade finance, sindicated financing, Margin During Construction (MDC), hybrid take over dan refinancing, factoring, KPRS inden, pembiayaan reimburs, IMBT dan Ijarah Maushifah fiz Zimmah, serta Musyarakah Mutanaqishah. Akad Musyarakah Mutanaqishah dapat diterapkan dalam 11 produk dan kebutuhan bisnis nasabah.
“Namun sampai saat ini bank-bank syariah umumnya belum mengembangkan produk-produk ini, sehinngga produknya masih sangat terbatas. Ke depannya, khususnya di 2016, bank-bank syariah sudah seharusnya mengembangkan produknya secara kreatif dan inovatif antara lain dengan menerapkan musyarakah mutanaqishah,” ujar Agustianto beberapa waktu lalu di Jakarta.
Lalu tantangan yang kedua, sekuritisasi aset Bank Syariah. Salah satu kunci kesuksesan KPR Syariah adalah sekuritisasi (tawriq) asset. Sekuritisasi akan meningkatkan ketersediaan dana bagi bank-bank syariah. Dalam konsep sekuritisasi asset ini, bank syariah mentransformasikan aset berisikonya (pembiayaan) ke dalam bentuk uang cash (uang segar) yang kemudian dapat digunakan untuk ekspansi usaha dan dapat pula disalurkan kembali ke pihak yang memerlukan dana. Uang segar tersebut diperoleh dari sebuah lembaga penerbit EBA yang membeli asset produktif bank syariah.
“Keuntungan dari sekuritisasi pembiayaan ini antara lain bank tidak perlu menunggu lebih lama (10-15 tahun) untuk mendapatkan kembali dana yang sudah dikucurkan kepada nasabah, khususnya pembiayaan berjangka panjang seperti pembiayaan perumahan,” ucapnya.
Selama ini pemanfaatan sekuritisasi dalam perbankan syariah belum mendapat perhatian yang berarti dan belum dipraktekkan, karena memang belum ada regulasi dan kebutuhan bank-bank syariah akan sekuritisasi belum mendesak. Pada akhir tahun 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan mengenai sekuritisasi dengan penerbiatan Efek Beragunan Asset (EBA) Syariah melalui POJK No 20 tahun 2015.
Penerbitan produk EBA Surat Partisipasi Syariah akan mengatasi kesenjangan asset dan liability perbankan syariah dalam pembiayaan perumahan. Diharapkan perbankan syariah di Indonesia dapat memanfaatkan produk EBA-SP syariah ini untuk pendanaan, sehingga bank-bank syariah bisa melakukan ekspansi pembiayaan lebih luas atau ekspansi jaringan.
Tantangan perbankan syariah ketiga, adalah memperhatikan kualitas aset. Semua bank di Indonesia, baik konvensional maupun syariah dilanda pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit dan diiringi pula oleh peningkatan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL untuk bank konvensinal dan NPF untuk perbankan syariah). Hal ini dikarenakan, faktor tekanan eksternal, seperti melemahnya ekonomi China dan ketidakpastian suku bunga The Fed yang masih akan mempengaruhi ekonomi domestik, termasuk sektor perbankan yang erat hubungannya dengan pembiayaan sektor riil.
Oleh sebab itu, bank syariah harus tetap mewaspadai tren peningkatan pembiayaan bermasalah di tahun depan yang mempengaruhi kualitas aset. Bank-bank konvensional juga menghadapi tantangan kualitas kredit yang serius. Dari berbagai media massa, semua Dirut Bank-bank BUMN menyatakan bahwa tantangan utama 2016 adalah soal kualitas kredit (pembiayaan).
Dengan demikian, di 2016 ini pengelolaan pembiayaan bermasalah tetap menjadi tantangan terbesar bagi bank-bank syariah ke depan. Untuk menghadapi tantangan ini, Bank syariah harus terus memperketat standar underwriting dan secara proaktif memonitor nasabah dalam sektor industri yang terkena dampak perlambatan ekonomi secara umum.
Untuk itu bank-bank syariah,harus membentuk divisi penyelamatan penyelesaian pembiayaan bermasalah. Bank-bank syariah harus meningkatkan kompetensi SDMnya agar bisa mengatasi pembiayaan bermasalah dan mampu melakukan restrukturisasi pembiayaan secara syariah. “Ke depan, kita tidak saja membekali SDM yang ahli dan berkompeten di bidang restrukturisasi pembiayaan, tapi juga ahli dalam mencegah terjadinya pembiayaan bermasalah,” paparnya.
Sedangkan tantangan yang keempat, yakni memperkuat permodalan dan skala usaha bank syariah. Permodalan bank syariah perlu diperkuat secara signifikan agar memiliki skala usaha yang memadai untuk melakukan ekspansi. Untuk mewujudkan itu, OJK telah mendorong komitmen Bank Induk Konvensional untuk mengoptimalkan perannya dan meningkatkan komitmennya untuk mengembangkan layanan perbankan syariah hingga mencapai share minimal di atas 10% asset BUK induk.
Bentuk peranan tersebut adalah pengembangan kegiatan business process leveraging antara bank syariah dan lembaga keuangan dalam satu grup usaha secara integratif. Strategi leverage model ini sangat signifikan dalam meningkatkan daya saing bank syariah dengan BUK maupun BUS pesaing di pasar regional yang memiliki skala ekonomi dan efisiensi yang tinggi. Selain meningkatkan daya saing yang juga cukup penting, program ini secara signifikan akan menekan biaya operasional.
Selain itu, dalam rangka memperkuat permodalan, perbankan syarah diharapkan lebih aktif menawarkan sahamnya kepada public, khususnya kepada investor ritel yang diperkirakan semakin bertambah seiring peningkatan kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Sejalan dengan penawaran kepada public, pemegang saham bank institusi diharapkan tetap menjadi pengendali dengan turut memberikan tambahan modal.
Tantangan kelima yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah persaingan dalam mengumpulkan dana nasabah, terlebih dana murah (CASA). Selama ini bank-bank syariah masih rendah komposisinya dalam soal dana murah ini, seperti dana giro wadiah. Menurut data, dana murah bank syarah sebesar 8%. Pesaingan DPK tidak saja terjadi dengan lembaga perbankan konvensional tetapi juga terjadi dengan institusi keuangan non-bank (IKNB) seperti takaful dan reksa dana. Oleh karena itu, beberapa dekade belakangan bank umum mulai mencari sumber dana non-deposito.
Dana pihak ketiga bagi perbankan adalah ibarat darah, tanpanya lembaga perbankan akan lesu dan tidak bergairah. Oleh karena itu bank-bank syariah harus bisa menggali dan mendapatkan dana-dana murah. Selain giro wadiah, dana-dana waqaf seharusnya bisa diraih dan dikelola bank-bank syariah dalam jumlah yang signifikan. Pemerintah dalam hal ini dirjen pajak seharusnya memberikan intensif kepada penempatan dana waqaf di bank syarah berupa pembebasan pajak.
“Aneh, jika pemerintah membebaskan dana pensun dari pajak, sementara waqaf yang fungsinya nyata-nyata untuk ibadah dan sosial yang merupakan dana milik Allah, lalu dibebankan pajak sebagaimana dana-dana biasa,” jelasnya.
Tantangan financing juga akan dihadapi bank syariah, yaitu dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan asing multinasional yang membeli (akuisisi) perusahaan pembiayaan swasta di Indonesia. Bank-bank atau Lembaga Keuangan asing tersebut kelebihan dana murah, seperti Jepang. Suku bunga yang mereka tawarkan kepada perusahaan pembiayaan sangat rendah, sehingga bank-bank syariah jauh kalah pricing dibanding bank-bank multinasional tersebut.
“Bank-bank syariah seharusnya bisa masuk dalam pengelolaan dana pemerintah baik pusat maupun daerah, termasuk dana-dana BUMN dan BUMD,” tambahnya.
Tantangan yang keenam, yakni penguatan SDM. Dalam pengembangan perbankan syariah SDM merupakan pilar utama. Penyediaan SDM yang kompeten dengan jumlah yang cukup menjadi tuntutan mutlak bagi bank syariah terutama dalam menghadapi MEA. Karena itu, manajemen bank syariah harus memprioritaskan penciptaan SDM yang berkompeten dan berkualitas dengan terus melakukan training dan workshop atau kuliah pascasarjana.
“SDM perbankan syariah yang berkualitas adalah suatu kekuatan yang dapat mendorong pertumbuhan bisnis perbankan syariah,” kata dia.
Sedangkan tantangan yang terakhir, adalah meningkatkan teknologi sistem keuangan syariah. Masalah klasik yang tidak boleh diabaikan, bahkan harus menjadi prioritas adalah aspek teknologi. Aspek ini harusnya menjadi perhatian utama bank syarah. Bank-bank syariah harus menginvestasikan danaya dalam penyediaan teknologi informasi (TI). Di tengah era financial digital saat ini pemanfaatan TI dalam proses bisnis sudah semakin meluas dan menjadi suatu keharusan.
Tren konsumen saat ini sudah menjadikan internet menjadi salah satu kebutuhan utama. Hal ini dapat dilihat dari lonjakan pengguna internet terutama saat era smartphone saat ini. Terkait dengan perkembangan tersebut, bank syariah tidak boleh ketinggalan dalam mengupgrade teknologi yang digunakan. Manfaat yang dapat dirasakan oleh bank syariah dengan sistem TI yang mutakhir adalah peningkatan jumlah nasabah dan efisiensi biaya.
“Jika hal-hal ini dapat tercapai maka kinerja bank syariah akan dapat lebih baik di tahun depan,” ucap Agustianto.
Sementara itu Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK Ahmad Buchori pernah mengatakan, sejumlah faktor turut mempengaruhi perkembangan perbankan syariah pada 2016 yang semakin baik jika dibandingkan dengan 2015. Diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
“Yang jelas akan didorong oleh pertumbuhan ekonomi, tahun depan juga ada konversi Bank Aceh itu pasti akan mendorong share bank syariah. Kami berharap pula bisa segera terbentuk Komite Nasional Keuangan Syariah, sehingga akan mendorong bank syariah berkembang lebih pesat. Selain itu, Bank Syariah Mandiri sudah BUKU 3, sehingga peluang kegiatan mereka semakin beragam,” tukasnya.
Terkait pangsa pasar perbankan syariah, Buchori menuturkan hingga Oktober 2015 OJK mencatat pangsa perbankan syariah masih di bawah 5%. Namun demikian, OJK tetap optimis dapat mencapai target pangsa pasar tersebut di 2016. “Untuk pangsa pasar tahun depan kami lebih optimis karena proyeksi pertumbuhan di hampir semua lembaga memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi pada 2016,” ujar Buchori.
Secara rata-rata, jelas dia, pada 2016 perbankan syariah diperkirakan tumbuh antara 12%-13%. “Belum berani target pertumbuhan sampai diatas 20%. Sekarang tahap konsolidasi hampir selesai dan tahun depan sudah mulai rebound. Yang jelas tahun 2016 akan lebih tinggi dari 2015,” tegasnya. (*)