Tantangan Perbankan di Masa Transisi Pemerintahan

Tantangan Perbankan di Masa Transisi Pemerintahan

Oleh Paul Sutaryono

PADA 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik menjadi presiden dan wakil presiden untuk periode 2024-2029. Apa saja tantangan perbankan di masa transisi itu?

Bagaimana kinerja bank? Kredit tumbuh dua digit dari 9,06 persen per Agustus 2023 menjadi 11,40 persen per Agustus 2024. Dana pihak ketiga tumbuh dari 6,24 persen menjadi 7,01 persen.

Buahnya, loan to deposit ratio (LDR) naik dari 83,38 persen menjadi 86,80 persen. Rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) membaik dari 2,50 persen menjadi 2,26 persen. Loan at risk (LaR) membaik pula dari 12,55 persen menjadi 10,17 persen mendekati rasio sebelum pandemi 9,93 persen per Desember 2019. Risiko pasar yang tersirat pada posisi devisa neto (PDN) membaik dari 1,72 persen menjadi 1,29 persen di bawah ambang batas 20 persen.

PDN secara keseluruhan adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari (a) selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing ditambah dengan (b) selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.

Pemenuhan PDN itu bertujuan untuk mengendalikan terjadinya perubahan kurs naik atau turun agar bank dapat meminimalisasi risiko kerugian. Hal itu pun bertujuan untuk mendukung Bank Indonesia (BI) dalam mengendalikan nilai tukar rupiah.

Pemerintahan baru menghadapi tantangan eksternal geopolitik yang kian panas dan tantangan internal seperti utang pemerintah yang kian tinggi. Laporan APBN edisi Juli 20204, total utang Indonesia Rp8.444 triliun per Juni 2024 naik 1,09 persen dari Rp8.353 triliun per Mei 2024.

Teranyar Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) seri FR0105 dengan tenor 40 tahun melalui mekanisme private placement dengan nilai Rp3 triliun pada 22 Agustus 2024. Instrumen obligasi ini dapat dikatakan tenor terpanjang di pasar domestik.

Rasio utang terhadap PDB 39,30 persen per Desember 2023 jauh di bawah batas aman 60 persen sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Rasio itu di bawah 40 persen seperti ditetapkan dalam Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah pada 2023-2026.

Bandingkan dengan rasio utang negara ASEAN. Meski rasio utang Vietnam lebih baik 37,10 persen, namun Indonesia lebih baik daripada Filipina 60,10 persen, Malaysia 61,10 persen, Thailand 61,90 persen dan Singapura 167,80 persen.

Rasio itu digunakan investor untuk mengukur sejauh mana kemampuan suatu negara dalam melakukan pembayaran utang. Hal itu memengaruhi biaya pinjaman negara dan imbal hasil obligasi pemerintah.

Aneka Tantangan

Lantas, apa saja tantangan bank dalam mendorong pertumbuhan ekonomi? Pertama, sudah barang tentu penurunan suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) 50 bps dari 5,25-5,50 persen sejak Juli 2023 menjadi 4,75-5 persen pada 18 September 2024 menjadi sentimen positif bagi Indeks Harga Saham Gabungan. Hal itu dapat mendorong arus modal.

Sehari sebelumnya, BI telah menipiskan suku bunga acuan 25 bps dari 6,25 persen sejak April 2024 menjadi 6 persen yang akan menggairahkan sektor riil. Mengapa? Karena suku bunga kredit bakal ikut menipis sehingga biaya modal dalam memperoleh kredit menjadi lebih rendah. Hal itu dapat mendorong derasnya kucuran kredit dan sektor riil.

Sayangnya, kredit kepada nasabah yang sudah disetujui namun belum dicairkan (undisbursed loan) naik 6.89 persen dari Rp2.019,17 triliun per Juli 2023 menjadi Rp2.158,26 triliun per Juli 2024. Hal itu mencerminkan ekonomi yang sedang tak baik-baik saja sehingga debitur belum mencairkan kredit. Bank merugi kesempatan (opportunity loss). Lho? Sebab, bank seharusnya sudah memperoleh pendapatan bunga yang gurih.

Kedua, mengapa kredit mampu tumbuh dua digit 11,40 persen di tengah ekonomi yang lesu? Hal itu didorong laju kredit kelompok bank BUMN. Pendapatan bunga kredit memberikan kontribusi terbesar dalam mencetak laba bank.

Lirik saja Bank Mandiri yang meraih laba bersih Rp26,6 triliun (tumbuh 5,23 persen). BNI menyusul Rp 10,69 triliun (3,78 persen), BTN Rp1,5 triliun (1,9 persen) dan BRI Rp29,9 triliun (0,95 persen).

Ketiga, tetapi bank tetap perlu menggali aneka sumber pendanaan yang lebih murah seperti pengelolaan giro dan tabungan (current account and saving account/(CASA). Pendapatan dari deposito dianggap sebagai sumber pendanaan mahal.

Oho, bank papan atas bagai tak pernah kehabisan angin seperti layang-layang yang terus terbang tinggi. Bank memacu pendapatan dari biaya (fee-based income) atau pendapatan non bunga yang gurih.

Pendapatan itu bersumber dari aneka produk dan layanan perbankan yang berwarna-warni. Katakanlah, ATM, kartu kredit, Mobile Banking, Internet Banking, remittances, cash management, wealth management, trade finance dan transaksi treasury. Pun, kedit konsumsi seperti kredit kendaraan bermotor (KKB), KPR dan kredit tanpa agunan (KTA) serta bisnis surat berharga yang dapat diperdagangkan dan kustodian.

Keempat, awalnya bank sedikit muram ketika terkena disrupsi teknologi digital dengan serbuan technologi finansial (tekfin). Tekfin menawarkan kredit dengan platform digital dengan layanan serba kilat hanya dalam hitungan menit dan dengan dokumen persyaratan minim sedangkan kredit perbankan masih makan waktu berhari-hari dengan banyak dokumen persyaratan.

Serbuan itu telah mencuil ceruk pasar bisnis perbankan pada segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang belum bisa mengakses perbankan (unbankable).

Tetapi, kini bank mulai bebenah diri dengan bertindak adaptif dan inovatif. Bank papan atas berlomba untuk meluncurkan aneka transaksi dalam satu aplikasi. Aplikasi itu memuat pembayaran QRIS, pembayaran tagihan, top up e-wallet hingga transfer ke dalam dan luar negeri hanya dalam satu genggaman. Tengok saja super app BNI: Wondr by BNI, Bank Mandiri: Livin’ by Mandiri, BRI: BRImo dan BCA: MyBCA.

 Bahkan terdapat produk dengan fitur transfer gratis. Inilah dia: Tabungan Digibank by DBS, PermataME (Bank Permata), Flip, Blu by BCA, Neo Bank, Line Bank (Hana Bank), OCTO Savers by CIMB Niaga dan UOB TMRW. Mereka “membakar uang” karena selama ini transaksi transfer antarbank bisa menelan biaya Rp 2.500 melalui BI-Fast.

Kelima, bank pun telah digebuk oleh aplikasi paylater atau “membeli dulu, membayar kemudian” (buy now, pay later). Sebut saja, Shoppee Paylater (SPayLater), GoPay Later, Kredivo, Akulaku PayLater, Home Credit, Indodana, Traveloka PayLater, Atome.

Paylater adalah istilah pada transaksi pembayaran barang atau jasa. Institusi penyedia layanan akan memberikan dana talangan kepada peminjam untuk membayar transaksi barang atau jasa yang dibutuhkan.

Sungguh, paylater itu menantang kartu kredit bank yang tetap tumbuh meski rendah. Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Pasar Keuangan mencatat jumlah kartu kredit naik 2,66 persen dari 17,69 juta unit per Juli 2023 menjadi 18,16 juta unit per Juli 2024. Nilai transaksi tunai naik 2,96 persen dari Rp36,13 triliun menjadi Rp37,20 triliun. Nilai transaksi belanja naik 2,99 persen dari Rp35,41 triliun menjadi Rp36,47 triliun.

Namun, bank papan atas pantang menyerah dengan meluncurkan fasilitas paylater. BCA melalui aplikasi myBCA, Bank Mandiri melalui Livin’ Paylater, DBS melalui Digibank Paylater, Allo Bank melalui Allo PayLater.

BNI bekerja sama dengan Shopee Paylater dan BRI melalui Paylater Ceria. Segera menyusul CIMB Niaga dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Outstanding kredit melalui paylater bank Rp18,01 triliun atau tumbuh 36,65 persen (yoy) per Juli 2024.

 Keenam, siapa bakal menjadi pemenang antara aplikasi paylater dan paylater bank? Modal menjadi kuncinya. Sebab, modal adalah bantalan bagi bank dan lembaga keuangan dalam menyerap potensi risiko kredit, pasar, operasional dan likuiditas (Paul Sutaryono, Bisnis Indonesia, 18/7/24). Bisnis perbankan berbasis digital yang awalnya dianggap disrupsi ternyata mampu berkontribusi tinggi sebagai pendapatan yang gurih.

Ingat bahwa total utang masyarakat di paylater Rp6,13 triliun per Maret 2024 atau meningkat 23,90 persen dibandingkan pada Maret 2023. Pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) 3,15 persen (CNN Indonesia, 14/5/24). Inilah peringatan keras bagi pemegang payater untuk lebih mengerem gairah belanja agar tak menjerat leher sendiri!

Ketujuh, kini 11.000 buruh terkena PHK di industri tekstil. Hal itu dipacu oleh banjirnya impor pakaian jadi karena Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Sektor manufaktur pun sedang goyang padahal selama ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Inilah tantangan pemerintah baru untuk menggenjot sektor manufaktur sebagai salah satu katalis pertumbuhan ekonomi yang subur.

Untuk itu, bank wajib menggeber kredit ke UMKM yang mampu menyerap 119,56 juta tenaga kerja (96,92 persen) pada 2019. Usaha mikro mampu menyerap 109,84 juta tenaga kerja (89,04 persen), usaha kecil 5,93 juta (4,81 persen) dan usaha menengah 3,79 juta (3,07 persen). Usaha besar “hanya” 3,81 juta (3,08 persen).

Bank pun patut mendampingi UMKM dalam menyusun laporan keuangan dan melakukan digital marketing. Alhasil, UMKM mampu melakukan penetrasi pasar yang lebih luas dan naik kelas.

Kedelapan, pemerintah juga perlu memperpanjang insentif pajak penghasilan (PPh) 0,5 persen yang berlaku bagi UMKM orang pribadi yang berakhir Januari 2025. Hal itu bertujuan untuk menjaga arus kas UMKM di tengah ekonomi yang suram.

Dengan demikian, bank mampu menciptakan banyak kesempatan kerja untuk menekan tingkat pengangguran terbuka 4,82 persen per Februari 2024 yang turun dari 5,45 persen per Februari 2023.

Penulis adalah Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) Universitas Prof. Dr. Moestopo dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya

Related Posts

News Update

Top News