Tantangan Perbankan 2024 Kian Tajam

Tantangan Perbankan 2024 Kian Tajam

Oleh Paul Sutaryono

SETELAH bertahan selama sembilan bulan sejak 19 Januari 2023, akhirnya, pada 19 Oktober 2023 Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI-7 Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) 25 basis points (bps) dari 5,75% menjadi 6%. Kenaikan itu sebagai indikator bahwa telah terjadi kenaikan ketidakstabilan ekonomi global yang akan berlanjut pada 2024. Bagaimana tantangan perbankan pada 2024?

Mari kita tengok dulu kinerja bank umum. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit bank tumbuh 10,38% secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp6.424 triliun per Desember 2022 menjadi Rp7.090 triliun per Desember 2023. Pertumbuhan kredit itu berada di rentang target pertumbuhan kredit menurut OJK 10%-12% pada 2023.

Sementara, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih rendah, 3,73%, dari Rp8.154 triliun menjadi Rp8.458 triliun. Pertumbuhan DPK itu terutama didukung oleh pertumbuhan giro yang mencapai 4,57%. Data ini sedikit banyak menunjukkan bahwa tabungan masyarakat turun.

Cermati pula margin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang naik dari 4,70% per November 2022 menjadi 4,83% per November 2023. Oho, pantaslah bank atau investor asing terus melirik industri perbankan nasional yang dianggap gurih. 

Imbal hasil aset (return on asset/ROA) tampak naik cukup tajam dari 2,47% per November 2022 menjadi 2,72% per November 2023. Sarinya, kualitas aset makin tinggi dan bahkan hampir dua kali ambang batas 1,5%. Itulah sekilas kinerja industri perbankan nasional.

Baca juga: Bos LPS Titip Pesan Penting Ini ke Perbankan

Langkah Strategis

Lantas, apa saja tantangan perbankan pada 2024? Apa pula aneka langkah strategis yang harus diambil bank untuk mampu menjawab tantangan tersebut? Pertama, apakah kenaikan suku bunga acuan BI itu akan memengaruhi kenaikan suku bunga kredit perbankan? Tampaknya, kenaikan suku bunga acuan kali ini kemungkinan besar tidak akan mendorong kenaikan suku bunga kredit perbankan.

Mengapa? Lantaran, likuiditas perbankan nasional begitu melimpah. Hal itu tersirat dari rasio alat likuid/non core deposit (AL/NCD) yang mencapai 127,07% per Desember 2023 dan hampir tiga kali ambang batas 50%. Rasio likuiditas lainnya, alat likuid/DPK (AL/DPK) 28,73% per Desember 2023 juga hampir mendekati tiga kali ambang batas 10%. 

Kedua, kemungkinan terjadinya kenaikan suku bunga kredit, terutama kredit pemilikan rumah (KPR), juga relatif rendah. Tengok saja, pemerintah telah meluncurkan insentif untuk pembelian rumah berupa pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) 11% untuk pembelian rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. Dengan demikian, pemerintah akan menanggung 100% pajak tersebut hingga Juni 2024 dan 50% pajak pada Juni-Desember 2024. 

Pemerintah juga memberikan insentif Rp4 juta bagi pembelian rumah bersubsidi oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Bantuan itu meliputi antara lain untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hal itu dapat menekan kekurangan penyediaan perumahan (backlog) yang mencapai 12,7 juta unit rumah per 2023.

Kedua insentif itu amat diharapkan dapat mendorong kenaikan penjualan rumah KPR dan rumah bersubsidi dengan program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Apa itu rumah bersubsidi dengan FLPP? FLPP ditujukan untuk MBR hingga maksimal Rp8 juta per bulan. 

Rumah bersubsidi itu menawarkan uang muka hingga 1%, suku bunga tetap (fixed rate) 5% hingga lunas tenor 20 tahun. Suku bunga tetap artinya suku bunga KPR tidak berubah sekalipun suku bunga acuan BI berubah (naik atau turun). Enak ‘kan

Sejalan dengan itu, BI pun melanjutkan pelonggaran rasio loan to value (LTV) atau financing to value (FTV) untuk kredit atau pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun dan rumah toko/ruko). 

Dengan bahasa lebih bening, uang muka bisa 0%. Sesungguhnya, makin rendah uang muka akan makin tinggi angsuran bulanan. Untuk itu, (calon) nasabah properti disarankan untuk menggenjot uang muka setinggi mungkin supaya angsuran bulanan lebih rendah.

Ketiga, program KPR FLPP itu dikelola Badan Pengelola (BP) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Repotnya, masyarakat belum begitu mengenal Tapera dan BP Tapera sebagai pengelola tunggal Tapera. 

Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang berlaku efektif 24 Maret 2016 menitahkan bahwa Tapera adalah wadah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. 

Berapa besar simpanan peserta Tapera? Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang berlaku efektif 20 Mei 2020 sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) UU Nomor 4 Tahun 2016 itu, simpanan 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja formal yang meliputi 0,5% ditanggung pemberi kerja dan 2,5% ditanggung pekerja formal. Pekerja informal menanggung sendiri besaran simpanan 3% tersebut (pasal 15). 

Peserta Tapera tak hanya pekerja formal, tapi juga pekerja informal (pekerja mandiri). Pekerja mandiri adalah setiap warga negara Indonesia yang bekerja dengan tidak tergantung pada pemberi kerja untuk mendapatkan penghasilan.

Bagi pekerja formal, pemberi kerja yang mempunyai wewenang untuk mendaftarkan pekerja menjadi peserta Tapera. Pemberi kerja adalah perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain atau penyelenggara negara yang mempekerjakan Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan membayar gaji sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apa fungsi BP Tapera? BP Tapera berfungsi untuk mengatur, mengawasi, dan melakukan tindak turun tangan terhadap pengelolaan Tapera untuk melindungi kepentingan peserta.

Pembentukan BP Tapera itu bertujuan untuk menjamin kesinambungan penyelenggaraan Tapera yang semula diselenggarakan oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS). Badan itu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 14 Tahun 1993. 

Inilah kesempatan emas bagi generasi milenial untuk memiliki rumah yang layak huni dan terjangkau melalui 40 bank penyalur, seperti bank pemerintah, bank swasta, dan bank pembangunan daerah (BPD) di seluruh Nusantara. Larisnya penjualan rumah akan mampu menyerap banyak tenaga kerja. Inilah tantangan bagi BP Tapera, bank, dan pengembang!

Keempat, adalah tugas bank untuk menggeber kredit ke sektor yang sanggup menyerap banyak tenaga kerja. Alhasil, bank tidak hanya mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi, bank juga mampu menekan tingkat pengangguran terbuka yang kini mencapai 5,32% (per Agustus 2023) turun tipis dari 5,86% per Agustus 2022.

Kelima, jumlah kredit restrukturisasi perbankan akibat COVID-19 terus turun, Rp203,4 triliun, dari Rp469,2 triliun per Desember 2022 menjadi Rp265,8 triliun per Desember 2023. 

Ingat bahwa OJK telah melakukan perpanjangan program restrukturisasi kredit dari 31 Maret 2023 ke 31 Maret 2024 secara terbatas. Perpanjangan restrukturisasi kredit itu meliputi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum, serta beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki. Mengapa? Lantaran, sektor tersebut masih mengalami tekanan.

Mengingat terdapat peningkatan ketidakpastian ekonomi global, restrukturisasi kredit untuk sektor tersebut masih perlu diperpanjang lagi hingga 31 Maret 2025. Langkah itu bertujuan untuk memperkokoh struktur permodalan sektor tersebut agar tidak ambrol diterjang badai perlambatan ekonomi. 

Baca juga: Technobanker Jadi Kunci Perbankan Bertransformasi Digital

Di sisi perbankan, restrukturisasi kredit itu diperpanjang atau tidak, bank wajib siap-siap mendongkrak cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) setinggi mungkin. Kini terdapat tren bahwa bank papan atas terus mengerek cadangan jauh lebih tinggi. Buat apa? Cadangan yang tidak digunakan pada akhir tahun buku dapat diubah menjadi pendapatan lain-lain. Hal itu bermanfaat untuk mengangkat laba sehingga lebih gendut pada akhir tahun.

Tren tersebut dapat dilakukan oleh bank papan atas mengingat mereka memiliki modal raksasa. Terus bagaimana dengan bank papan bawah? Kemungkinan besar, bank papan bawah akan membentuk cadangan sesuai dengan kolektibilitas kredit masing-masing. 

Kondisi itu menegaskan betapa pentingnya modal perkasa bagi sektor keuangan terutama bank. Apa manfaat modal? Modal bermanfaat untuk menyerap aneka potensi risiko, baik risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional maupun risiko likuiditas.

Keenam, bank wajib terus meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi potensi risiko pasar berupa depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah mendekati Rp16.000. Untunglah, bank masih gagah perkasa. Hal itu tampak dari posisi devisa neto (PDN) yang 1,58% per November 2023, turun dari 1,92% per Oktober 2023 dan jauh di bawah ambang batas 20%.

Ketujuh, selain itu, bank tetap wajib memperbaiki kualitas kredit terus-menerus meskipun saat ini rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) tetap terjaga pada level NPL net 0,71% dan NPL gross 2,19%, jauh di bawah ambang batas 5%. Ringkas tutur, bank mampu mengelola risiko kredit dengan gesit.

Nah, berbekal aneka langkah strategis demikian, bank bakal tetap gemerincing dan sehat pada 2024. Sungguh!

Penulis adalah pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya Jakarta, dan Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta.

Related Posts

News Update

Top News