Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (Foto: Erman Subekti)
Oleh Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), UPDM Jakarta dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI), Unika Atma Jaya Jakarta.
MENJELANG akhir Februari 2025, pasar modal dilanda “gempa”. Puncaknya, Bursa Efek Indonesia (BEI) membekukan untuk sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan pada Selasa, 18 Maret 2025 selama 30 menit ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 5 persen. Artinya, ada potensi risiko tinggi bagi pemangku kepentingan (stakeholders): pemerintah, emiten dan investor. Apa tantangan pasar modal pada 2025?
Pada 21 Maret 2025, IHSG ambruk 1,93 persen atau turun 123,49 poin ke 6.258,18. Bagaimana 15 saham dengan kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar per 21 Maret 2025? Apa itu kapitalisasi pasar? Kapitalisasi pasar menunjukkan nilai suatu perusahaan dengan mengalikan harga saham dengan jumlah saham yang beredar.
Bank Central Asia (BBCA) tetap menjadi raja dengan market cap paling tinggi Rp 973,87 triliun. Posisi itu disusul PT Barito Renewables Energy (BREN) Rp 799,37 triliun, Bayan Resources (BYAN) Rp 666,67 triliun, Chandra Asri Petrochemical (TPIA) Rp 627,21 triliun, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Rp 560,77 triliun, Amman Mineral Internasional (AMMN) Rp 426,04 triliun, Bank Mandiri (BMRI) Rp 411,60 triliun.
Kemudian menyusul DC Indonesia (DCII) Rp 362,39 triliun, Dian Swastatika Sentosa (DSSA) Rp 326,71 triliun, Telkom Indonesia (TLKM) Rp 228,83 triliun, Astra Internasional (ASII) Rp 195,94 triliun, Minna Padi Aset Manajemen (PANI) Rp 151,11 triliun, Bank Negara Indonesia (BBNI) Rp 140,61 triliun, Indoritel (DNET) Rp 131,56 triliun dan Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) Rp 123,32 triliun (Kontan.co.id, 21 Maret 2025). Namun perlu dicatat bahwa meskipun saham blue chip anjlok, namun bagi investor ulung, hal itu justru saatnya untuk memborong saham!
Lantas, apa saja langkah strategis dalam menekan “gempa” pasar modal tersebut? Bagaimana tantangan pasar modal 2025? Pertama, apa saja penyebab rontoknya IHSG? Menurut Dirut BEI Iman Rachman, sangat banyak penyebab dari perubahan indeks dan itu bukan hanya satu pihak. Indeks selalu terdampak tiga hal, bagaimana (kondisi) global, domestik dan bagaimana korporasinya sendiri (Kompas, 1 Maret 2025).
Penurunan IHSG dan anjloknya penerimaan pajak pada triwulan I-2025 bukanlah dua fenomena yang berdiri sendiri, melainkan representasi simultan dari melemahnya fondasi kepercayaan publik dan pelaku pasar terhadap arah ekonomi nasional dan konsistensi kebijakan fiskal pemerintah.
Keduanya merupakan refleksi dari keresahan yang sama: ketidakpastian makroekonomi, minimnya transparansi fiskal dan absennya jaminan berkelanjutan kebijakan yang bisa membangkitkan optimisme sektor riil ataupun perseorangan (Astri Warih Anjarwi, Kompas, 2 April 2025).
Pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 24 Februari 2025 bisa jadi salah satu penyebab gonjang-ganjing pasar modal yang bersumber dari dalam negeri. Danantara adalah super holding BUMN yang mirip sovereign wealth funds (SWF) seperti Temasek, Singapura.
Apa payung hukum pembentukan Danantara? Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal itu dianggap tidak sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG).
Tengok saja Pasal 3Y yang menyatakan bahwa Menteri (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN), organ dan pegawai Badan (Badan Pengelola Investasi Danantara) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian jika dapat membuktikan a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Kemudian, b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola, c) tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan investasi dan e) tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah. Organ adalah Dewan Komisaris Persero, Dewan Pengawas Perusahaan Umum (Perum) dan Direksi BUMN.
Kedua, tampaknya kinerja APBN per Februari 2025 yang mengalami defisit Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap produk domestik bruot (PDB) juga menjadi salah satu penyebab “gempa” pasar modal.
Baca juga: Ada Pesan Penting dari OJK untuk Investor Pasar Modal, Apa Itu?
Pendapatan negara terealisasi Rp316,9 triliun atau 10,5 persen terhadap APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun. Penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target dengan rincian Rp187,8 triliun berasal dari penerimaan pajak dan Rp52,6 triiun dari kepabeanan dan cukai. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terserap Rp76,4 triliun atau 14,9 persen dari target.
Di sisi lain, realisasi belanja negara Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari target Rp 3.621,3 triliun. Belanja pemerintah pusat (BPP) Rp 211,5 triliun atau 7,8 persen dari target. Inilah rinciannya: belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp 83,6 triliun dan belanja non K/L Rp 127,9 triliun. Adapun belanja transfer ke daerah (TKD) Rp 136,6 triliun atau 14,9 persen dari target (Antara, 13 Maret 2025).
Ketiga, untunglah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan kebijakan pembelian kembali (buyback) saham tanpa perlu melalui rapat umum pemegang saham (RUPS). Hal itu diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar sekaligus mampu mengurangi tekanan yang telah terjadi di bursa saham domestik.
Keempat, apakah pasar modal masih akan bergejolak pada 2025? Hal itu sangat tergantung pada pemerintah dan regulator pasar modal dalam hal ini OJK. Selama ini, kebijakan pemerintah tampak kurang digodok dengan matang sehingga justru lahirlah gejolak di sektor keuangan.
Sebut saja, kebijakan kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen yang berlaku efektif 1 Januari 2025 dan isu gas melon 3 kg yang langka di tangan pengecer. Kemudian program pembangunan 3 juta rumah setahun mulai 2025 dan rencana pembentukan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih.
Program yang boleh dikatakan amat ambisius itu sudah seharusnya segera dilengkapi dengan peta jalan (road map) yang cemerlang dan dikawal oleh tata kelola yang baik (good corporate government/GCG). Dengan bahasa lebih bening, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam meluncurkan kebijakan.
Kelima, jangan lupa bahwa “gempa” susulan dapat menimpa pasar modal segera setelah AS mulai mengenakan tarif impor dari beberapa negara termasuk Indonesia yang dikenakan tarif 32 persen.
Sayangnya, Tim Negosiasi Indonesia yang telah melakukan negosiasi dengan Donald Trump tentang tarif impor ke AS tidak menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan Indonesia. Tarif impor kepada Indonesia justru naik dari 32 persen menjadi 47 persen. Waduh!
Penerapan tarif itu bisa menekan emiten yang melakukan ekspor ke AS mengingat biaya operasional makin tinggi. Padahal daya beli masyarakat menipis tatkala inflasi tercatat minus 0,09 persen (deflasi) per akhir Februari 2025 di tengah target inflasi 2,5 persen plus minus 1 persen pada 2025. Sebelumnya, deflasi sudah melindas Indonesia selama lima bulan berturut-turut pada Mei-September 2024.
Baca juga: IHSG Sepekan Merosot 3,61 Persen, Kapitalisasi Pasar Jadi Rp12.099 Triliun
Manakala emiten semacam itu tidak mampu mengatasi makin tingginya biaya operasional, maka kinerja mereka akan merosot. Hal itu bisa mendorong menipisnya harga saham. Untuk itu, pemerintah perlu sat set untuk mengobati lumpuhnya kinerja emiten dan mengendalikan kurs rupiah yang berisiko melemah.
Jangan sampai ujungnya justru mendorong kenaikan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ingat bahwa telah terjadi PHK di PT Sri Rejeki Isman, Tbk (PT Sritex), Sukoharjo, Jawa Tengah sekitar 10.000 orang pada Januari dan Februari 2025.
Keenam, kembali ke pasar modal. Di pasar modal terdapat dua macam investor: investor individu dan investor institusi. Di AS, perkembangan investor individu begitu cepat.
Sejak 1920-an, masyarakat menjadi pemilik saham perusahaan yang signifikan. Pada 1959, investor individu baru mencapai 12,5 juta orang yang mewakili satu dari setiap delapan orang dewasa (1:8). Enam tahun kemudian pada 1965 naik menjadi 20,1 juta orang (1:6) dan 30,8 juta orang (1:4) pada 1970.
Celakanya, jumlah investor individu turun menjadi 25,2 juta orang (1:6) pada 1975 namun naik lagi menjadi 30,2 juta (1:5) pada 1980. Jumlahnya terus naik menjadi 47 juta orang (1:4) pada 1985 dan 50 juta (1:4) pada 1990 (William C. Frederick, James E. Post dan Keith Davis, Business and Society, 1992: 289).
Bagaimana investor individu di Indonesia? Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan jumlah investor di pasar modal naik 22,21 persen dari 12,16 juta single investor identification (SID) menjadi 14,87 juta. Hebatnya, investor pasar modal mayoritas disumbang oleh investor individu yang mencapai 99,7 persen.
Investor milenial (usia di bawah 40 tahun) mendominasi dengan menyumbang 79,31 persen dari total investor. Hal itu menyiratkan bahwa pasar modal bakal lebih bergairah walaupun ekonomi global masih temaram.
Ketujuh, oleh karena itu, inilah tantangan penting dan mendesak bagi OJK untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada investor. Hal itu bertujuan untuk mendongkrak tingkat literasi investasi (investment literacy).
Sosialisasi dan edukasi dapat dilakukan di luar jaringan (luring) langsung di kampus-kampus besar baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Aktivitas tersebut juga dapat dilakukan dalam jaringan (daring) melalui media sosial dan koran dan majalah daring yang menjadi habitat kaum milenial. Bahkan perusahaan sekuritas pun telah sering melakukan sosialisasi dan edukasi secara daring.
Dengan aneka langkah strategis demikian, “gempa” pasar modal dapat terkendali. Alhasil, pasar modal Indonesia kian moncer!
Page: 1 2
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More