Oleh Dobias Iskandar, Pengusaha dan Komisaris Asuransi Cakrawala Proteksi
EMPAT tahun terakhir banyak pelaku sektor bisnis dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat disruptive technology. Sebagian tergopoh-gopoh melakukan adaptasi karena tidak melakukan persiapan dan antisipasi terhadap perubahan akibat merasa nyaman dengan bisnisnya yang sudah leading berpuluh-puluh tahun.
Kemajuan teknologi digital dan hadirnya generasi milenial, yang jumlahnya mencapai 33,5% dari total 268 juta jiwa penduduk Indonesia, telah “merusak” banyak kebiasaan lama, misalnya dalam berbelanja maupun berbagai cara mengeluarkan uang. Perusahaan ritel kesulitan karena omzet tergerus oleh toko online. Operator taksi konvensional kelabakan sebab diserbu taksi online.
Kini perubahan yang lebih cepat tiba-tiba terjadi dalam sekejap. Wabah Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 membuat aktivitas manusia berubah begitu cepat, hanya dalam hitungan minggu. Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan terjadinya perubahan yang supercepat yang melahirkan sesuatu yang baru dari sebelumnya tak dikenal. Berbagai aktivitas, seperti bisnis, sosial, agama, maupun keluarga, terpaksa dilakukan secara virtual. Kerja dari rumah, belajar dari rumah, termasuk ibadah pun dilakukan dari rumah.
Demi memutus mata rantai COVID-19, pemerintah memang menerapkan kebijakan physical/social distancing bagi warga masyarakat, menjaga jarak satu sama lain. Namun, dampak dari kebijakan tersebut telah memukul berbagai sektor ekonomi. Perhotelan dan restoran, misalnya, sinyalnya darurat karena omzetnya turun signifkan.
Kini semua pelaku bisnis sedang dalam periode survival (survival period). Sebagian besar menganggap krisis COVID-19 adalah kondisi sementara yang perlu disikapi dengan wait and see, menunggu sambil melihat-lihat kondisi kembali normal sehingga bisa segera melakukan recovery dan kembali meraih growth. Namun, ada kemungkinan lain yang penting untuk dicermati, yaitu bagaimana menghadapi kemungkinan physical/social distancing sebagai kondisi normal yang baru (new normal) pada tahun-tahun mendatang. Sebab, jalan menuju produksi massal vaksin penangkal COVID-19 belum mendapatkan titik terang.
WHO juga sudah memberi peringatan kepada semua negara untuk tidak buru-buru menghentikan kebijakan physical/social distancing, meski penularan maupun korban virus Corona menurun.
Intermittent distancing bisa terjadi hingga 2022 atau periode/waktu yang dibutuhkan sampai vaksin atau obat ditemukan.
Board of Innovation, sebuah firma di bidang desain bisnis dan strategi global, memprediksi disrupsi ini akan menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru yang tetap bertahan setelah pandemi berlalu. Pembelian online diprediksi akan meluas dan mendalam, bukan lagi hanya fashion, tiket, dan hotel, tapi juga consumer good hingga food delivery.
Agar berhasil pada survival period, pebisnis harus mampu mengoptimalkan produk dan basis konsumen yang ada, membangun customer connection dan engagement, dan melakukan terobosan untuk menemukan pasar baru, baik melalui existing business maupun new business. Jadi, kemampuan untuk memfasilitasi kebutuhan pasar dalam kondisi physical/social distancing adalah syarat penting agar pelaku bisnis bisa berhasil melewati survival period dan kembali meraih momentum pada growth period.
Namun, ada syarat lain yang tak kalah penting, yaitu adanya pasar yang memiliki kemampuan menyerap produk maupun jasa yang disediakan para pelaku usaha. Sebab, yang menjadi tantangan berat dari krisis kesehatan yang berkepanjangan adalah menurunnya perekonomian, bangkrutnya dunia usaha, dan meluasnya pengangguran. Sementara, kemampuan perusahaan untuk menciptakan revenue adalah adanya pasar yang kompetitif.
Tentu intervensi pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian melalui stimulus fiskal sangat dibutuhkan. Untuk menanggulangi pandemi COVID-19 dan dampaknya, pemerintah sudah memberikan stimulus ekonomi dan perlindungan sosial melalui APBN 2020 sebesar Rp405,1 triliun. Perinciannya, Rp75 triliun untuk kesehatan, Rp110 triliun untuk perlindungan sosial atau bantuan sosial, Rp70,1 triliun berupa insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi yang roboh akibat terdampak COVID-19.
Apabila stimulus tersebut dijalankan secara efektif, diharapkan bisa mengatasi krisis kesehatan, melindungi masyarakat di level bawah, dan mempertahankan ekonomi dengan menjaga adanya consumer demand yang sangat penting bagi kehidupan sektor riil. Sektor riil harus dijaga karena kalau terjadi masalah akan merembet ke sistem perbankan yang menjadi jantung perekonomian.
Selain penyelamatan kesehatan dan nyawa masyarakat menjadi prioritas utama, penyelamatan ekonomi sangat penting untuk menjaga stabilitas keamanan, sosial, dan politik. Itu sebabnya pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun larangan mudik, karena kalau COVID-19 tidak bisa diselesaikan secepatnya, stimulus sebesar Rp405,1 triliun belum tentu bisa memberi dampak yang sesuai dengan harapan. (*)