Tantangan Badan Supervisi OJK

Tantangan Badan Supervisi OJK

Oleh Paul Sutaryono

KITA boleh berharap sektor jasa keuangan bakal lebih aman dari tangan-tangan kriminal. Asa itu terbit ketika Presiden Joko Widodo meluncurkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 127/P Tahun 2023 tentang Pengangkatan Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ditetapkan pada 27 Desember 2023. Mampukah Badan Supervisi OJK melakukan mitigasi risiko di sektor jasa keuangan?

Inilah 9 nama anggota Badan Supervisi OJK periode 2023-2028. Dr. Agustinus Prasetyantoko, Muhammad Edhie Purnawan, S.E., M.A., Ph.D., Ir. Difi Johansyah, Prof. Sidharta Utama, Ph.D., CA, CFA, Mohammad Jufrin, S.E., MSE, Hernawan Bekti Sasongko, S.E., M.B.A., Dr. Didid Noordiatmoko Ak, M.M., CGCAE, Dr. Tito Sulistio, S.E., MAF, Prof. Dr. Chandra Fajri Ananda.

Mengapa “tiba-tiba” muncul Badan Supervsi OJK? Pasal 8 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan telah mengubah UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan? Ada 23 perubahan ketentuan yang dilakukan antara lain tentang Badan Supervisi OJK.

OJK adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan. Dewan Komisioner OJK adalah pimpinan tertinggi OJK yang dipimpin Ketua Dewan Komisioner. Kepala Eksekutif OJK adalah anggota Dewan Komisioner yang bertugas untuk memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner.

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, keuangan derivatif dan bursa karbon, sektor perasuransian, penjaminan dan dana pensiun, sektor lembaga pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro dan lembaga keuangan lainnya.

Baca juga: Pemerintah Sarankan Rusun Jadi Alternatif Lokasi Program Tapera

Fungsi, Tugas dan Wewenang

Apa fungsi, tugas dan wewenang Badan Supervisi OJK? Badan Supervisi OJK berfungsi untuk membantu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap OJK untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi dan kredibilitas kelembagaan OJK.

Untuk menjalankan fungsi pengawasan, Badan Supervisi OJK bertugas untuk (i) membantu DPR dalam membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan OJK, (ii) melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi dan kredibilitas kelembagaan OJK dan (iii) menyusun laporan kinerja.

Untuk melaksanakan tugasnya, Badan Supervisi OJK berwenang untuk (i) meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan OJK, (ii) menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari OJK, (iii) melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan OJK, (iv) meminta dokumen yang diperlukan  dalam melakukan telaahan yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan OJK.

Selain itu, Badan Supervisi OJK pun berwenang untuk (v) menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari OJK, (vi) melakukan telaahan atas anggaran operasional OJK, (vii) menerima laporan masyarakat dan industri mengenai kelembagaan OJK dan (viii) meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner OJK atas telahaan dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi OJK.

Badan Supervisi OJK membuat laporan pelaksanaan tugas kepada DPR secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Anggaran Badan Supervisi OJK bersumber dari anggaran operasional OJK. Ketentuan mengenai organisasi, tata kerja dan anggaran Badan Supervisi OJK diatur dalam Peraturan OJK setelah dikonsultasikan dengan DPR.

Baca juga: Catat! Iuran Tapera Belum Tentu Mulai di 2027

Faktor Kunci Keberhasilan

Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan (key success factors) yang patut dipenuhi Badan Supervisi OJK agar mampu melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya dengan baik dan benar?

Pertama, selama ini kasus di sektor jasa keuangan hampir tak pernah putus seperti kasus perasuransian. Sebut saja, PT Bakri Life (pada 2009), Asuransi Bumi Asih Jaya (2013), AJB Bumiputera (2017), PT Asuransi Jiwasraya (2018), Kresna Life (2019), PT Asabari (2019), Taspen Life (2021) dan Wanaartha Life (2022) (Koran Kontan, 2 September 2022). Kasus PT Asuransi Jiwasraya salah satu badan usaha milik negara (BUMN) boleh dikatakan kasus terbesar dalam perasuransian.

Bagaimana kisah kasus Jiwasraya itu? Berdasarkan catatan OJK, kasus Jiwasraya ini mulai pada 2004 ketika perusahaan memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvency mencapai Rp2,76 triliun. Pada 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban.

Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin melebar menjadi Rp5,7 triliun dan Rp6,3 triliun pada 2009. Kemudian langkah untuk reasuransi membawa nilai ekuitas surplus Rp 1,3 triliun per akhir 2011.

Pada 2012, Bapepam-LK memberi izin produk JS Proteksi Plan (produk bancassurance dengan BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY). Sedangkan pada 2017, OJK memberi sanksi pada perusahaan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017.

Hingga September 2019, total ekuitas dari perusahaan asuransi tertua di Indonesia ini diketahui minus Rp23,14 triliun. Kerugian tersebut merupakan buntut dari kesalahan investasi yang dilakukan perseroan pada periode sebelumnya. Diketahui, Jiwasraya menempatkan hasil investasinya jauh dari prinsip kehati-hatian yang pada akhirnya nilai sahamnya anjlok dan berimbas pada menunggaknya klaim nasabah (infobanknews.com, 6 Januari 2020).

Akhirnya, lahirlah Indonesia Financial Group (IFG) sebagai penyelamat gagal bayar Jiwasraya. Persetujuan pemegang polis terhadap restrukturisasi penyelamatan polis mencapai 99,7 persen yang meliputi korporasi Rp19,5 triliun, bancassurance Rp10,4 triliun dan ritel Rp8,2 triliun (CNBC Indonesia, 30 Desember 2023).

Kedua, Badan Supervisi OJK hendaknya bukan hanya duduk manis menerima tembusan laporan kinerja OJK. Namun, Badan Supervisi sudah sepatutnya sekali-kali ikut turun ke sektor jasa keuangan ketika OJK sedang melakukan pengawasan.

Dengan demikian, Badan Supervisi OJK tak hanya mampu mengetahui isi laporan kinerja OJK, tetapi juga memahami dari awal tiap peristiwa apalagi kasus. Hal itu amat penting dan mendesak. Mengapa? Karena tidak semua anggota Badan Supervisi OJK mempunyai pengalaman operasional di sektor jasa keuangan.

Ketiga, selain itu juga diperlukan regulasi tentang tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk masing-masing sektor jasa keuangan yang lebih bernas. GCG meliputi transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness).

Penerapan GCG itu bertujuan untuk memaksimalkan nilai-nilai perusahaan, meningkatkan kinerja dan kontribusi perusahaan dan menjaga kelestarian perusahaan dalam jangka panjang.

Keempat, satu hal yang perlu dibangun adalah ekosistem pengawasan. Ekosistem itu wajib merangkul semua pemangku kepentingan (stakeholders) seperti DPR, OJK, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pengawas internal, asosiasi dan masyarakat. Mengapa masyarakat dirangkul juga? Lugasnya, masyarakat diundang untuk memberikan informasi atau data ketika diduga terjadi penyimpangan.

Kelima, walhasil pengawasan bakal menjadi panglima. Tatkala kasus Jiwasraya itu meledak, frekuensi pemeriksaan OJK terhadap industri keuangan non bank (IKNB) dilakukan paling sedikit satu kali dalam tiga tahun. Hal itu dimuat pada  Pasal 4 Peraturan OJK Nomor 11/POJK.05/2014, tanggal 27 Agustus 2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non Bank.

Frekuensi pemeriksaaan langsung yang “hanya” paling sedikit satu kali dalam tiga tahun itu sungguh sangat tidak memadai. Dengan bahasa lebih bening, OJK wajib segera merevisi peraturan itu menjadi pemeriksaan langsung minimal satu kali dalam satu semester.

Pemeriksaan langsung adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan mengenai Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang dilakukan di kantor Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan di tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

Baca juga: Heboh Temuan BPK Soal Dana Pensiun Rp567 Miliar Belum Cair, Begini Penjelasan BP Tapera

Keenam, kehadiran Badan Supervisi OJK sangat diharapkan dapat mitigasi risiko di sektor jasa keuangan. Anggota Badan Supervisi OJK yang belum memiliki pengalaman operasional di sektor jasa keuangan sudi meningkatkan kompetensi di bidang yang menjadi tanggung jawabnya.

Ketujuh, Badan Supervisi OJK hendaknya menimba pengalaman dari Badan Supervisi BI yang telah lahir 20 tahun lalu tepatnya pada 2004.

Artinya, Badan Supervisi BI sebagai “kakak kandung” hendaknya sudi membagi pengetahuan dan pengalaman kepada Badan Supervisi OJK dan Badan Supervisi LPS. Badan Supervisi OJK dan Badan Supervisi LPS dibentuk pada 2023.

Kedelapan, jangan lupa bidang pengawasan ketiga Badan Supervisi tersebut saling terkait. Karena itu, diperlukan koordinasi yang kompak antartiga Badan Supervisi itu sehingga melahirkan sinergi tinggi. Hal itu akan membantu DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya.

Berbekal aneka faktor kunci keberhasilan demikian, Badan Supervisi OJK amat diharapkan mampu melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang dengan gesit. Alhasil, sektor jasa keuangan kian sehat dan gemerincing sehingga mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi. (*)

Penulis adalah pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) Universitas Prof. Dr. Moestopo dan Staf Ahli Pusat Parwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya.

Related Posts

News Update

Top News