Jakarta – Selain Bank Indonesia (BI) yang memiliki tanggung jawab dibidang moneter, Pemerintah juga diminta ikut bertanggung jawab untuk bisa mengatasi kondisi perekonomian yang sedang tak menentu. Kinerja ekspor yang melempem dan nilai impor yang membengkak harus menjadi perhatian utama pemerintah.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Ekonom Indef, Bhima Yudistira saat dihubungi Infobank, di Jakarta, Jumat, 22 Juni 2018. Menurutnya, selain BI yang fokus menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Pemerintah juga harus bisa mendorong ekspor dan mengurangi nilai impor yang terus membengkak.
“Padahal dari sisi fundamental ekonomi kita memang sedang kurang sehat. Neraca dagang dari Januari sampai April tiga kali mengalami defisit karena impor bengkak sementara kinerja ekspor melempem,” ujarnya.
Asal tahu saja neraca perdagangan selama April 2018 mengalami defisit US$1,63 miliar dengan nilai impor sebesar US$16,09 miliar atau naik 11,28 persen dibanding bulan sebelumnya (mtm) dan tumbuh 34,68% year on year (yoy). Sementara ekspor mencapai US$14,47 miliar, turun 7,19 persen (mtm), namun tumbuh 9,01 persen (yoy).
Baca juga: Hadapi Kondisi “New Normal”, Pemerintah Hati-Hati Susun Kebijakan Ekonomi
”Ekonomi cuma tumbuh 5 persen. Proyeksinya tahun ini cuma 5,1 persen jauh dibawah target 5,4 persen. Jadi saya kira Pemerintah juga punya tanggung jawab pulihkan kondisi daya beli, ekspor dan kinerja sektor industri. Jangan hanya andalkan BI saja,” ucapnya.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, bahwa banyak cara untuk memperbaiki fundamental ekonomi nasional. Salah satunya dengan memberi stimulus fiskal bukan hanya ke industri skala besar tapi juga industri kecil. Berdasarkan datanya, 90 persen lebih tenaga kerja ada disektor mikro yang kurang asupan gizi dari pemerintah.
“Kemudian soal ekspor agar cadangan devisa makin kuat bisa didorong fungsi diplomasi dagang ke pasar alternatif. Itu fungsi atasi perdagangan yang belum berjalan efektif,” tutupnya. (*)