Jakarta – Surplusnya produksi jagung di nusantara yang diklaim Kementerian Pertanian (Kementan) terlihat kontradiktif dengan keluhan peternak terkait dengan naiknya harga pakan. Nasib peternak makin terjepit karena beralih ke gandum juga makin meningkatkan biaya produksi.
Melihat kondisi ini, Anggota Komisi IV DPR, Zainut Tauhid Sa’adi pun mengaku heran. Oleh sebab itu, dirinya siap mengonfrontasi Kementan dengan pengusaha soal besaran produksi dan kebutuhan jagung yang sesungguhnya. Langkah ini diharap bisa menjadi solusi bagi para peternak.
“Gagasan untuk mempertemukan menjadi salah satu solusi. Kami akan melakukan pengecekan lapangan terdahulu untuk memastikan mana yang benar. Karena laporannya surplus,” ujar Zainut dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 28 September 2018.
Menurutnya, pengecekan langsung dipandangnya perlu dilakukan mengingat produksi jagung ini karena berhubungan langsung dengan pakan untuk ternak. Tentu saja dengan harga pakan yang meningkat, efeknya bakal merembet ke harga telur dan daging ayam.
“Kami akan mengkonfrontrasi antara dua data yang beda, mana yang benar. Kami ingin semuanya pasti. Nggak ingin hanya berdasarkan katanya. Karena ini juga akan berimbas ke harga-harga lain,” ucapnya.
Terpisah, Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman mengatakan, saat ini peternak lebih banyak menggunakan gandum daripada jagung untuk bahan baku produksi. Langkah ini diambil karena memang kebutuhan jagung untuk produksi pakan tidak dapat terpenuhi.
“Pengusaha pakan membeli olahan gandum dari pabrik terigu. Ini mau tidak mau karena jagung tidak cukup,” ujarnya, Selasa (25/9) malam.
Kebutuhan pengusaha pakan atas gandum bahkan tidak main-main. Sudirman mengungkapkan, bahwa secara teori hampir semua pengusaha pakan sudah menggunakan gandum sebagai pengganti jagung.
Ia pun berharap pemerintah menata ulang kebijakan terkait pakan dan bahan bakunya, khususnya jagung. Menurutnya, langkah yang bisa diambil pemerintah adalah menarik minat investor bisnis pascapanen untuk persoalan surplusnya jagung yang belum pasti ini.
“Jadi daripada mengklaim jagung surplus, lebih baik pemerintah melibatkan sebanyak-banyaknya pihak swasta. Jangan dikerjakan sendiri,” paparnya.
Ia mencontohkan, selama ini kementerian pertanian memberikan bantuan dalam bentuk alat produksi pertanian, benih dan pupuk. Sementara dryer atau pengering tidak ada.
“Jagung itu seperti padi juga. Kalau musim hujan butuh dryer. Nah kan tidak mungkin juga kasih dryer ke petani atau kelompok tani. Karena itu biaya operasional dan perawatan juga tinggi. Ini yang harus dipikirkan,” tuturnya.
Jika memang stok tersedia, pengusaha ternak kata Sudirman sebenarnya lebih senang memakai jagung untuk bahan utama pakan ternak. Dengan memakai jagung, pakan mereka tidak perlu ditambahkan zat adittif untuk bisa membuat kaki ayam terlihat kuning.
“Masyarakat kita kan kalau milih daging ayam ingin yang kakinya kuning. Lalu kalau telur juga maunya kuningnya lebih terang. Nah itu kalau pakai jagung udah pasti kuning. Kalau pakai gandum, ayam kakinya putih, kita harus tambah zat aditif,” tutupnya. (*)