Jakarta — Pertumbuhan ekonomi global yang belum kuat dan hadirnya era digital yang melahirkan disruptive telah menggoyang kinerja banyak perusahaan di dunia. Terbukti, banyak perusahaan di dunia mengalami penurunan kinerja. Bahkan, perusahaan tersohor seperti Nokia dan Kodak mengalami kebangkrutan. Di tengah dinamika ekonomi dan pasar yang cepat, tantangan utama perusahaan-perusahan adalah bagaimana menjaga pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth). Menurut Rizky Wisnoentoro, pakar Sustainaible Development, perusahaan yang berorientasi kepada market share harus memikirkan bagaimana kinerjanya tumbuh secara sustainable.
“Sustainability bukanlah ibarat perlombaan lari cepat atau adu cepat. Tetapi yang menjadi tantangan adalah justru kemampuan daya tahan di jangka panjang dari sebuah perusahaan,” ujar peraih PhD di bidang Corporate Social Responsibility and Philanthropy ini ketika dihubungi infobanknews.com (4/1)
Hal yang sama juga harus menjadi perhatian negara-negara di dunia. Sebab, pertumbuhan ekonomi secara global juga telah melahirkan ketimpangan pendapatan di mana-mana, di negara maju maupun negara berkembang. Makanya, resolusi PBB nomor A/Res/70/1 tgl 21 Oktober 2015 pun sudah mengembangkan tiga pilar versi John Elkington dengan sebutan the Triple Bottom Line, lima titik tumpu utama yakni people, planet, prosperity, peace, dan partnership (5P).
“Ini lebih berorientasi pada pemerataan pertumbuhan. Sehingga memperkecil disparitas sosial antara dunia bisnis yang cenderung berada pada segmen sosial kelas menengah atas dengan kalangan menengah ke bawah atau bahkan kalangan tidak mampu yang terjebak pada absolute poverty,” jelas Rizky.
Dunia perbankan sebagai agen pembangunan yang memobilisasi dana publik sangat berperan penting untuk sustainability development. Misalnya dengan menjalankan program corporate social responsibility (CSR).
“Hanya masalahnya CSR banyak mengalami penurunan makna, khususnya di Indonesia. Karena trend nya adalah hanya sebatas charity atau donasi semata. Seharusnya itu terintegrasi dengan portfolio bisnis. Misalnya, kredit atau pembiayaan terhadap bisnis yang ramah lingkungan, dipadukan dengan program capacity building untuk karyawan, ataupun penghematan konsumsi kertas/listrik/air guna meningkatkan produktivitas, efisiensi, yang berujung pada profitabilitas,” jelas Rizky.
Di industri perbankan, perbankan syariah justru sudah memiliki konsep yang mengakar dengan bidang sustainability. “Karena prinsip syariah bersandar pada maqashid asy-syariah, bahkan berabad-abad sebelum SDGs diperkenalkan di dunia. Jadi dampak sustainable development dari sistem keuangan syariah seharusnya bisa menjadi kontribusi yang sangat signifikan terhadap pembangunan nasional dan pencapaian,” imbuh Rizky. Masalahnya, sebagai institusi bisnis sendiri bank-bank syariah mengalami perlambatan sejak 2014 setelah sebelumnya berlari kencang. Bahkan, ketika industri perbankan mengalami perlambatan, tak sedikit bank syariah yang justru mengalami tekanan kinerja yang lebih dalam dari penurunan industrinya. (*)