Oleh Wibowo dan Paul Sutaryono
Penulis adalah Dosen Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta dan Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta
HASIL survei elektabilitas nasional terbaru versi Lembaga Survei Skala Data Indonesia (SDI) menunjukkan bahwa pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Prabowo-Gibran menempati posisi puncak 45,7%. Paslon nomor urut 1 Anis-Muhaimin 27,6% dan paslon nomor urut 3 Ganjar-Mahmud 16,9% serta yang tidak menjawab (undecided voters) 9,8% (Tribunews, 27 Januari 2024). Namun ternyata hasil survei itu bisa membuat stres. Bagaimana mengatasinya?
Sudah barang tentu, hasil survei seperti itu menjadi perhatian dan sebagai bahan evaluasi terutama bagi capres dan cawapres, tim pemenangan pemilu dan partai pendukung koalisi, pengamat dan pemerhati. Hasil survei menunjukkan kecenderungan gerakan elektabilitas kontestan.
Kecenderungan itu dapat menimbulkan stres terutama bagi yang elektabilitasnya turun. Oleh karena itu, ada baiknya bgai kita untuk memahami pengertian, proses dan bagaimana mengelola stres.
Pengertian Stres
Banyak pengertian stres menurut para pakar. Pandangan mereka pada umumnya mengandung kesamaan, namun terkadang masing-masing mempunyai penekanan yang berbeda. Katakanlah Griffin dan Moorhead (2014:181) yang menyatakan bahwa stres adalah respon adaptif orang pada stimulus yang menempatkan psikologis atau tuntutan fisik berlebihan pada orang tersebut. Makna pengertian tersebut mengandung elemen adaptasi. Artinya orang dapat menerima situasi stres.
Pakar lain Gibson, Ivancevich, Donnelly dan Konopaske (2012: 195) menyatakan bahwa stres adalah respon adaptif, dimediasi oleh perbedaan individual yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi atau kejadian yang mengenakan tuntutan khusus pada orang. Stres adalah konsekuensi dari interaksi antara kondisi stimulus dan kecenderungan individual dalam merespon dengan cara tertentu.
Sementara menurut Coquitt, LePine, dan Wesson (2013:132), stres adalah respon psikologis terhadap tuntutan yang mempunyai taruhan tertentu bagi orang dan yang membebani atau melebihi kapasitas orang atau sumber daya. Hal itu menunjukkan bahwa stres terjadi karena karakteristik individu berbeda, adanya interaksi, pendorong dan akhirnya dilakukan adaptasi.
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Bijak Memilih Ajak Generasi Muda Kritis Tentukan Pilihan
Bagaimana proses terjadinya stres? Pada umumnya, di antara kita mempunyai tingkat resistensi normal terhadap kejadian yang membuat stres. Sebagian dapat sangat toleran terhadap kejadian yang membuat stres sedangkan lainnya agak kurang. Tetapi kita semua mempunyai ambang batas ketika stres mulai mempengaruhi kita.
Sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome) mengidentifikasi ada 3 tahapan respon pada pemicu stres (stressor) yaitu alarm, resistensi dan kelelahan (exhaustion) (Griffin dan Moorhead, 2014:181).
Alarm terjadi pada saat resistensi mulai terlihat meningkat mengarah pada tingkat batas normal. Resistensi terjadi ketika tingkat resistensi di atas normal. Kelelahan terjadi ketika resistensi menurun sangat tajam di bawah normal. Pada tingkat ini orang menyerah dan sudah tidak dapat lagi melawan pemicu stres.
Namun, sumber stres tak selalu buruk.Eustress adalah stres yang menyenangkan dan disertai hal yang positif seperti meningkatnya elektabilitas. Sebaliknya stres dapat bersifat negatif yang disebut distress yaitu stres yang tidak menyenangkan dan disertai hal yang negatif. Bentuknya dapat karena tekanan berlebihan, tuntutan waktu yang tidak realistis atau berita buruk.
Apa penyebab stres? Banyak hal yang dapat menjadi penyebab stres. Namun Griffin dan Moorhead, (2014:184) mengkategorikan dalam 2 kelompok yaitu pemicu stres organisasi (organizational stressor) dan pemicu stres kehidupan (life stressor). Sementara itu, konsekuensi stres dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu konsekuensi individu, konsekuensi organisasi dan stres kronis (burnout).
Sedangkan pemicu stres menurut Gibson, Ivancevich, Donnelly dan Konopaske (2012: 197) terdapat 4 macam tingkatan yaitu pertama, tingkat individual yang mencakup konflik peran, kelebihan peran, ambiguitas peran, tanggung jawab terhadap orang, gangguan dan langkah perubahan.
Kedua, tingkat kelompok yang mencakup perilaku manajerial, kurangnya kohesivitas atau kekompakan, konflik antar-kelompok dan ketidaksesuaian status. Ketiga, tingkat organisasional yang mencakup budaya, teknologi, struktur, politik, kurangnya peluang karir dan defisiensi umpan balik.
Keempat, nonwork atau tidak berkaitan dengan pekerjaan yang mencakup perawatan orang tua dan anak, ekonomi, kurangnya mobilitas, pekerjaan sukarela dan kualitas kehidupan.
Menurut Coquitt, LePine, dan Wesson, (2013:134) terdapat 2 tipe pemicu stres yakni halangan (hindrance) dan tantangan (challenge) kemudian dipilah dalam kategori berkaitan dengan pekerjaan (work) dan tidak berkaitan dengan pekerjaan (nonwork).
Pemicu stres karena tuntutan (hindrance stressor) yang sangat menimbulkan stres ketika orang cenderung merasa bahwa penghambat kemajuan mereka adalah pencapaian tujuan personal. Hal itu sering memicu emosi negatif seperti kegelisahan dan kemarahan.
Sebaliknya, pemicu stres karena tantangan (challenge stressor) yang sangat menimbulkan stres tatkala orang cenderung merasa sebagai peluang untuk pembelajaran, pertumbuhan dan pencapaian. Meskipun dapat melelahkan, namun pemicu stres karena tantangan justru sering memacu emosi positif seperti kebanggaan dan antusiasme.
Mengelola Stres
Lantas, bagaimana mengelola stres? Coquitt, LePine, dan Wesson, (2013:148) mengemukakan perlunya 4 langkah yang dapat dilakukan dalam mengelola stres yaitu, pertama, menilai. Hal itu merupakan langkah pertama untuk mengelola stres dengan menilai atau mengukur tingkat dan sumber stres di tempat kerja.
Langkah kedua: mengurangi pemicu stres dengan mempertimbangkan alternatif tindakan dalam mengelola pemicu stres yang mungkin dilakukan dengan cara mengurangi secara signifikan tuntutan yang menimbulkan stres.
Langkah ketiga: menyiapkan sumber daya. Pendekatan ini mungkin paling bermanfaat apabila lebih fokus pada usaha pada pemicu stres karena tuntutan daripadapemicu stres karena tantangan.
Pemicu stres karena tuntutan seperti ambiguitas peran, konflik dan beban berlebihan bukan hanya menyebabkan ketegangan, tetapi juga menurunkan komitmen dan kinerja. Sebaliknya, pemicu stres karena tantanganseperti tekanan waktu dan tanggung jawab dapat menyebabkan ketegangan. Pada umumnya, hal itu berhubungan positif dengan komitmen dan kinerja.
Langkah keempat: mengurangi ketegangan. Banyak organisasi menjalankan penurunan ketegangan melalui aneka latihan. Latihan pertama: teknik relaksasi yang dilakukan dengan relaksasi persendian, meditasi dan berbagai kegiatan menenangkan seperti berjalan, menulis jurnal dan mengambil nafas dalam.
Latihan kedua: teknik perilaku kognitif dengan membantu orang dalam mengatasi pemicu stres dengan cara yang lebih rasional. Hal itu suatu tehnik ketika orang belajar mengatakan sesuatu tentang tuntutan yang menimbulkan stres. Latihan ketiga: program kesehatan dengan membantu orang yang memiliki masalah pribadi seperti kecanduan alkohol dan adiksi lainnya.
Sedangkan Griffin dan Moorhead (2014:194) mengemukakan ada 2 strategi untuk mengelola stres yaitu strategi individual dan strategi organisasional. Pada strategi penanggulangan individu, banyak strategi yang dapat ditempuh dengan aneka kiat.
Kiat pertama: latihan sebagai salah satu metode untuk mengelola stres. Orang yang berolah raga secara teratur akan merasakan tak begitu tegang dan stres, lebih percaya diri dan menunjukkan optimisme lebih besar.
Kiat kedua: relaksasi. Relaksasi yang benar adalah cara untuk adaptasi. Relaksasi dapat mengambil beberapa bentuk antara lain dengan membuat sikap terhadap karakteristik tempat kerja dengan lebih baik. Kiat ketiga: manajemen waktu. Dengan mengelola waktu dengan baik, banyak tekanan setiap hari dapat dihapuskan atau dikurangi.
Baca juga: Tantangan Tim Pemenangan Pemilu
Kiat keempat: manajemen peran yang dapat dilakukan melalui aktivitas kerja individual dengan menghindari kelebihan beban, ambiguitas dan konflik. Kiat kelima: kelompok penunjang yakni keluarga atau kawan dengan menggunakan waktu dengan baik.
Pada strategi penanggulangan organisasional. Makin lama, organisasi makin menyadari bahwa mereka harus terlibat dalam mengelola stres pekerja. Terdapat 2 alasan berbeda terhadap pandangan ini. Di satu sisi, organisasi minimal bertanggung jawab atas penciptaan stres sehingga harus membantu melepaskannya. Di sisi lainnya, anak buah yang mengalami stres tidak begitu parah akan berfungsi lebih efektif.
Inilah strategi dasar organisasional yang dapat membantu pekerja mengelola stres. Pertama, program institusional yakni mengelola stres melalui mekanisme organisasional yang telah ada. Selain itu, organisasi perlu merancang skedul tugas dengan tepat, budaya organisasi dan supervisi.
Kedua, program kolateral (collateral programs) yakni usaha membantu bawahan untuk menurunkan stres. Organisasi wajib mengadopsi program manajemen stres, program promosi kesehatan dan program lainnya.
Penjelasan itu menegaskan bahwa mengelola stres dapat mulai dengan menilai dan mengukur faktor-faktor yang dapat menjadi sumber atau pemicu stres dan kemudian menguranginya. Adalah kewajiban bagi organisasi untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk menurunkan stres. Dengan bahasa lebih bening, stres dapat dicegah dan dikendalikan!