Bogor – Digitalisasi teknologi perbankan masih menjadi barang mewah bagi mayoritas pelaku perbankan syariah. Investasi yang besar serta banyaknya tahapan yang harus dilalui menjadi kendala utama sebagai besar Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam mengembangkan produk digital syariah. Padahal, Indonesia memegang potensi besar pada pasar muslim dan digital.
Penulis Buku Milenials Kills Everything, Yuswohady mengatakan, nantinya, 70 persen angkatan kerja Indonesia adalah milenial. Angkatan kerja baru ini akan mengubah peta produk-produk muslim di Indonesia dengan tingkat adaptasi digitalnya yang tinggi. Meskipun begitu, BUS dan UUS tampak masih terkendala dengan jumlah investasi yang besar.
Direktur Syariah Banking CIMB Niaga Pandji P. Dajajanegara menilai, dengan jumlah aset terbatas, perbankan syariah masih berat untuk mengembangkan teknologi perbankan digital.
“Kalau bank ingin dapat dana murah, bank syariah harus punya kantor cabang di kota-kota besar dan mengembangkan digital. Kalau asetnya tak terlalu besar, mana bisa mereka melakukan ini? Untuk mengembangkan digital saja, investasinya ratusan milyar,” ujar Pandji dalam diskusi yang diselenggarakan di Bogor, Jumat, 22 November 2019.
Sebelumnya, Direktur Utama Bank BCA, Jahja Setiaatmadja pernah mengungkapkan, bahwa brand image dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni juga menjadi faktor krusial yang perlu dipertimbangkan. Sehingga, dengan demikian, pengembangan teknologi digital tak hanya soal investasi besar semata.
“Banyak sekali yang harus dipersiapkan untuk mulai digitalisasi dan tidak hanya investasi dan uang, lebih dari itu. Pengenalan akan brand dan manpower yang mumpuni juga sangat diperlukan,” jelas Jahja.
Pada akhirnya, walaupun potensi pasar begitu besar, industri perbankan syariah perlu dukungan regulator untuk mendorong perkembangan teknologi digital. Dukungan ini dapat berupa revisi regulasi yang akan mendukung perkembangan aset BUS maupun UUS, seperti insentif pajak. (*) Evan Yulian Philaret