Jakarta — Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 4,25 persen. Penurunan ini juga diikuti, penurunan suku bunga deposit facility sebesar 25 basis poin di level 3,5 persen dan lending facility ke 5 persen.
Namun, kebijakan tersebut dinilai belum bisa menjadi stimulus untuk menggenjot penyaluran kredit, agar kinerja industri semakin ekspansif guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pengamat ekonomi Chatib Basri menilai, perlu adanya stimulus lain dari sisi fiskal untuk dapat meningkatkan permintaan.
“Kalau dorong ekonomi kita, tidak bisa lewat kebijakan moneter saja. Harus lewat fiskal, karena perlu ciptakan permintaan dulu,” ujar Chatib di Hotel Fairmont , Jakarta, Selasa 27 September 2017.
Dirinya menilai, pemerintah juga harus lebih jeli melihat fenomena yang ada yakni terkait belum adanya permintaan dari masyarakat bukan mengenai suku bunga.
“Dengan permintaan yang minim, membuat industri enggan melakukan ekspansi. Dengan tidak adanya ekspansi, maka, tidak dibutuhkan pinjaman dana dari lembaga keuangan. Akibatnya, pagu dana untuk pinjaman di perbankan pun tidak tersalurkan. Alhasil, perekonomian tidak bergerak dan sulit memacu pertumbuhan ekonomi,” jelas Chatib.
Chatib menambahkan, stimulus fiskal merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dimana terdapat 40 persen kelompok pendapatan kelas bawah. “Makanya, cara paling efektif meningkatkan permintaan adalah dengan mengandalkan kelompok tersebut. Karena, kelompok menengah bawah itu tidak punya tabungan. Jadi, dia pasti belanja. Kalau dia pasti belanja, dia bakal ada permintaan,” tukasnya. (*)
Editor: Paulus Yoga