Jakarta – Berdasarkan keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 15-16 Maret 2023 menetapkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap pada level 5,75%.
Kebijakan menahan suku bunga tersebut menjadi kedua kalinya sejak BI menaikkan suku bunga secara berurutan mulai Agustus 2022. Hingga saat ini kenaikan suku bunga di level 5,75% menjadi yang tertinggi sejak Juli 2019.
Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih menyatakan bahwa setelah BI mengumumkan tingkat suku bunga yang tetap, memicu pasar ekuitas domestik mengalami koreksi.
“Pasalnya, kebijakan tersebut berpotensi menyebabkan capital outflow yang tercermin di hari ini, IHSG terkoreksi -0,94% di level 6.565. Investor asing mencatatkan jual bersih di pasar reguler sebesar Rp705,8 miliar,” ucap Ratih dalam analisisnya, Kamis, 16 Maret 2023.
Tidak hanya itu, IHSG pun mengalami penurunan tiga hari beruntun, di mana selama periode 13-16 Maret 2023 telah terkoreksi 2,94%. Selain katalis domestik, penurunan juga diakibatkan oleh kekhawatiran akan potensi melemahnya pasar keuangan Amerika Serikat akibat Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank.
Adapun masalah likuiditas Credit Suisse di Eropa juga berpotensi memberikan spillover effect ke pasar keuangan global, sehingga pelaku pasar cenderung menghindari aset berisiko.
Baca juga: Keputusan BI Tahan Suku Bunga Acuan Dinilai Tepat, Ini Alasannya
Ratih juga menjelaskan, keputusan BI untuk menahan tingkat suku bunga tersebut memberikan sentimen positif dan negatif.
Sentimen positif tersebut, tercermin dari inflasi domestik yang mulai mengalami perlambatan di Februari 2023 sebesar 0,16% mom dari 0,34% mom. Lalu, BI juga telah meminimalisir resiko penurunan mata uang rupiah di tengah ketidakpastian ekonomi global melalui skema operasi moneter valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) berupa Term Deposit (TD) valas DHE.
“Kebijakan menahan suku bunga berpotensi meningkatkan konsumsi masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi masih dapat terakselerasi. Adapun penyaluran kredit juga diharapkan tetap tumbuh lebih tahun ini,” imbuhnya.
Adapun sentimen negatif datang dari Bank Sentral Eropa (BoE) dan Amerika Serikat (The Fed) yang masih memberikan sinyal hawkish atas kebijakan moneter akibat inflasi yang masih jauh dari target, sehingga kebijakan tersebut akan berpotensi menyebabkan capital outflow di pasar keuangan domestik, salah satunya di pasar ekuitas.
Meskipun terdapat kebijakan TD Valas DHE BI harus memberikan suku bunga valas yang kompetitif di era tingkat suku bunga tinggi pada beberapa negara. Alhasil, nilai tukar Rupiah dapat terjaga dan meminimalisir dampak imported inflation. (*).