Jakarta – Jelang akhir Oktober 2023 lalu, Bank Indonesia (BI) resmi menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6 persen. Kenaikkan suku bunga ini akan berdampak terhadap berbagai sektor mulai dari properti, asuransi, sampai kredit yang disalurkan perbankan.
Meskipun begitu, perlu dipahami juga bahwa kenaikan suku bunga BI dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian global, serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor.
Pernyataan bahwa BI ingin nilai rupiah bisa stabil ini dibenarkan oleh Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan.
Baca juga: 5 Dinamika Global yang ‘Paksa’ BI Naikan Suku Bunga
“Setelah membiarkannya di angka 5,75 selama 9 bulan berturut-turut, BI melakukan tindakan preemtiptive dan forward looking di tengah ketidakstabilan global. BI ingin mendukung kestabilan nilai rupiah di tengah volatilitas yang tinggi,” ujarnya dalam webinar Insurance Outlook 2024 yang digelar Selasa, 7 November 2023.
Dijelaskan oleh Katarina bahwa contoh nyata dari volatilitas tinggi ini bisa dilihat dari angka yield obligasi Amerika Serikat (AS) yang sedang ada diangka 5 persen, atau tertinggi sejak 2007. Katarina mengatakan, BI tidak bisa lagi menahan suku bunga.
Ditambah lagi, beredar kabar dari Federal Reserve System (The Fed) yang merupakan Bank Sentral AS, mengatakan kalau mereka akan melakukan “jeda” dan tidak akan menaikan suku bunga.
Pergerakan The Fed ini memang mempengaruhi bank sentral di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Kendati demikian, Katarina berpendapat bahwa penahanan suku bunga oleh The Fed tidak serta merta membuat mereka akan segera menurunkan suku bunga acuan.
“Menurut kami, BI akan mempertahankan suku bunga hingga akhir tahun ini dan kemungkinan sampai dengan paruh pertama 2024,” jelas Katarina.
Lebih dari itu, Katarina menambahkan kalau pelemahan rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa bulan ke belakang ini masih jauh lebih baik ketimbang pelemahan yang terjadi di sejarah.
“Pelemahan rupiah lebih sedikit dibanding secara historis. Kalau kita lihat, 2019-2020 itu jauh lebih parah dibanding yang terjadi saat ini. Sebetulnya, rupiah Indonesia adalah mata uang yang performanya cukup terjaga dibanding mata uang lainnya secara year to date,” papar Katarina.
Baca juga: Suku Bunga Naik Redam Inflasi? Ini Kata BPS
Sebagai informasi, kurs rupiah kepada dolar AS pernah mencapai angka Rp16,376 pada April 2020, mencatat rekor yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Sementara kasus pelemahan rupiah terhadap dolar AS baru-baru ini “hanya” mencapai Rp15,910 pada akhir Oktober 2023 ini.
Di sisi lain, Katarina juga memprediksi pada 2024 nanti, The Fed akan menghentikan kenaikan suku bunga mereka karena berbagai alasan, mulai dari kenaikan suku bunga restriktif, pengetatan kondisi keuangan yang sangat agresif, sampai kenaikan harga energi.
“Kondisi ini bisa mendorong normalisasi suku bunga The Fed, dan banyak bank sentral lain bisa lebih akomodatif pada 2024 nanti,” pungkasnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso