Studi Visa: 80 Persen Masyarakat Masih Demen Transaksi Uang Tunai

Studi Visa: 80 Persen Masyarakat Masih Demen Transaksi Uang Tunai

Jakarta – Perusahaan teknologi pembayaran asal Amerika Serikat (AS), Visa merilis studi terkait tren ekosistem pembayaran di Indonesia selama 2023 lalu.

Studi dibuat dengan melaksanakan survei pada periode September 2023 – Oktober 2023. Survei ini diikuti oleh 1.000 responden dari berbagai wilayah di Indonesia serta memiliki rentang usia 18 – 65 tahun.

Menurut Presiden Direktur Visa Indonesia, Riko Abdurrahman, dompet digital (e-wallet) menjadi alat pembayaran yang paling banyak digunakan oleh responden selama 2023. Sebanyak 92 persen dari mereka memakai e-wallet untuk bertransaksi. Adapun generasi yang paling mendominasi pemakaian e-wallet berasal dari generasi Y (kelahiran 1985 – 2000), dengan persentase sebesar 95 persen.

“Dari 1.000 responden ini, ternyata mereka paling banyak menggunakan e-wallet. Entah itu Gopay, OVO, atau Dana, atau mungkin menggunakan dompet digital dari bank seperti Livin By Mandiri dan CIMB Octo Mobile,” tutur Riko pada Selasa, 19 Maret 2024.

Baca juga: blu by BCA Digital Catat Transaksi Rp181 T Sepanjang 2023, Ini Penyokongnya

Menyusul e-wallet, terdapat internet banking yang masih digunakan oleh 81 persen responden, dilanjutkan oleh penggunaan uang tunai atau cash dengan persentase penggunaan sebesar 80 persen, dan kartu debit atau kredit sebesar 75 persen.

Pemakaian cash sebagai metode pembayaran ini menarik perhatian Riko, mengingat teknologi pembayaran di Indonesia sudah semakin beragam. Mayoritas pengguna uang tunai ini didominasi oleh generasi baby boomers (kelahiran 1959 – 1968), dengan persentase 92 persen.

“Generasi yang paling banyak memakai uang tunai itu generasi baby boomers. Sementara generasi Z (kelahiran 2001 – 2006) itu sudah turun ke 78 persen,” lanjut Riko.

Riko sendiri menjelaskan, pemakaian uang tunai sudah turun dari tahun ke tahun. Pada 2021 silam metode ini masih dipakai oleh 87 persen responden, lalu turun menjadi 84 persen setahun berselang, dan menjadi 80 persen per 2023. Meskipun begitu, masih banyak kategori pembayaran di mana uang tunai menjadi metode terfavorit masyarakat.

Contohnya, mayoritas masyarakat masih menggunakan uang tunai untuk membayar kendaraan umum, makan di restoran, hal-hal terkait kesehatan, hiburan, isi bahan bakar, sampai dengan berbelanja baik itu di toko ritel, supermarket, maupun minimarket.

Alasan Tingginya Penggunaan Uang Tunai

Menurut Riko, salah satu alasan masih banyak masyarakat yang memakai uang tunai adalah belum meratanya infrastruktur teknologi cashless di Indonesia. Ia menjelaskan, pemakaian e-wallet atau internet banking lebih banyak ditemukan di perkotaan besar.

“Selama infrastruktur (teknologi non-tunai) masih di kota-kota besar, saya rasa penggunaan cash masih akan besar. Tapi, jika infrastruktur digital payment sudah masuk ke kota-kota kecil, ditemukan di merchant-merchant kecil, itu akan cepat (pemakaian cashless),” ujarnya.

Salah satu contoh yang ia kemukakan adalah teknologi QRIS yang penetrasinya sudah sekitar 40 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Riko merasa ini akan membantu meningkatkan metode pembayaran non-tunai.

Baca juga: Jos! Transaksi QRIS Tembus Rp31,65 Triliun, Naik 149,46 Persen

Selain infrastruktur yang masih belum merata, literasi keuangan di Indonesia juga belum merata. Riko berujar, kalau inklusi keuangan di Indonesia yang tinggi tidak sejalan dengan pemahaman atau literasi terhadap teknologi keuangan yang dipakai oleh penggunanya.

“Financial inclusion di Indonesia dianggap tinggi, sekitar 75 persen. Misalnya, saya penerima bansos, lalu pemerintah mengirim menggunakan kartu e-money, saya sudah dianggap financially included. Tetapi, apakah saya mengerti cara menggunakan e-money saya? Itulah financial literacy,” terang Riko.

Dengan demikian, masih banyak orang yang sejatinya merupakan pengguna aplikasi pembayaran, namun tidak memahami benar konsepnya. Riko mengungkapkan, masih ada kesenjangan antara inklusi keuangan dengan literasi keuangan di Indonesia, menyebabkan tingginya penggunaan cash sebagai metode pembayaran. (*) Mohammad Adrianto Sukarso

Related Posts

News Update

Top News