Jakarta – PT Bank UOB Indonesia (UOB Indonesia) merilis hasil studi terbaru bertajuk UOB Business Outlook Study 2025 (SMEs and Large Enterprises), dalam rangka mengukur tingkat optimisme pelaku usaha, dari usaha mikro hingga korporasi.
Meskipun separuh pelaku usaha masih menunjukkan optimismenya, studi yang melibatkan lebih dari 535 responden pelaku UKM dan korporasi di Indonesia ini menunjukkan optimisme yang menurun drastis sebanyak 90 persen di tahun ini pasca adanya tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
Optimisme keseluruhan pun menurun, dengan sedikit lebih dari separuh perusahaan yang masih melihat prospek positif. Biaya operasional yang meningkat, inflasi, dan suku bunga tinggi menjadi kekhawatiran utama, dimana 51 persen pelaku usaha memperkirakan inflasi akan terus naik, dan 52 persen memprediksi kenaikan signifikan pada harga bahan baku.
Sebagai respons, banyak perusahaan kini meninjau kembali strategi bisnis untuk tetap unggul dan mendiversifikasi sumber pendapatan.
Direktur Wholesale Banking UOB Indonesia, Harapman Kasan menjelaskan bahwa meski ada kehati-hatian akibat faktor eksternal seperti tarif AS, pihaknya melihat adanya komitmen kuat terhadap digitalisasi dan praktik berkelanjutan.
Baca juga: Efisiensi Anggaran Dinilai Terlalu Ketat, Ini Dampaknya terhadap Pelaku Usaha
“Dalam situasi seperti ini, efisiensi, daya saing, dan investasi menjadi kunci. UOB Indonesia siap mendampingi para pelaku usaha dengan solusi keuangan yang tepat dan panduan ahli untuk memanfaatkan peluang pertumbuhan di tengah perubahan ini,” ujar Harapman, dalam keterangan resminya, Sabtu, 14 Juni 2025.
Digitalisasi Jadi Prioritas Pelaku Usaha
Digitalisasi terus menjadi prioritas utama bagi pelaku usaha dalam meningkatkan efisiensi operasional dan mendorong pertumbuhan.
Studi menunjukkan dua dari tiga perusahaan berencana meningkatkan belanja digital sebesar 10–25 persen di 2025, bahkan satu dari lima perusahaan merencanakan kenaikan hingga 50 persen.
“Fokus utama dari digitalisasi tahun ini adalah perlindungan dan keamanan data yang lebih baik, sementara performa bisnis tetap stabil,” sebut Harapman.
Adopsi teknologi finansial juga sangat tinggi, dengan 94 persen perusahaan telah atau berencana menggunakan teknologi finansial, terutama untuk keperluan investasi, keuangan, dan akuntansi.
Keberlanjutan Jadi Strategi Utama
Pasca pengumuman tarif baru AS, lebih dari separuh pelaku usaha (baik skala kecil – 56 persen, maupun skala menengah – 64 persen) mulai mengimplementasikan inisiatif keberlanjutan.
Sektor Barang Konsumen (67 persen) dan Manufaktur (59 persen) menjadi pelopor dalam adopsi ini. Faktor pendorongnya meliputi reputasi brand, tuntutan konsumen, daya tarik investor, dan kesesuaian dengan standar ESG perusahaan multinasional.
“Namun, tantangan utama masih berupa tingginya biaya produk dan keterbatasan infrastruktur energi terbarukan,” imbuh Harapman.
Ekspansi global Jadi Strategi Pertumbuhan
Meskipun perdagangan global tengah menghadapi tantangan, mayoritas pelaku usaha memperkirakan perdagangan intra-ASEAN akan terus tumbuh sebagai dampak dari tarif baru AS.
Lebih dari setengah perusahaan juga berencana mempercepat ekspansi internasional mereka untuk memanfaatkan peluang global. Perusahaan menengah serta pelaku di sektor kesehatan dan perdagangan wholesale menunjukkan niat ekspansi paling tinggi. Langkah ini juga didorong oleh keinginan untuk mengurangi risiko usaha melalui diversifikasi pasar.
Baca juga: Survei CORE: Pindar Meningkatkan Penghasilan Pelaku UMKM
Di luar itu semua, masalah tenaga kerja masih menjadi tantangan utama bagi 8 dari 10 pelaku usaha.
“Sekitar sepertiga perusahaan memperkirakan tekanan ini akan meningkat signifikan setelah pemberlakuan tarif baru dari AS, terutama karena inflasi dan lonjakan biaya operasional,” tukas Harapman.
Selain dilakukan di Indonesia, UOB Business Outlook Study 2025 (SMEs and Large Enterprises) turut dilakukan di tujuh pasar utama di ASEAN dan Tiongkok Raya – yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Tiongkok Daratan, dan Hong Kong SAR. (*) Steven Widjaja