Oleh Chandra Bagus Sulistyo, Group Head of Government Program – Division of Small Business and Programs BNI
PERTUMBUHAN ekonomi dunia 2023 diperkirakan kurang begitu menggembirakan dibandingkan dengan 2022. Karena itu, pelaku usaha, dalam hal ini bank, perlu membuat strategi jitu agar dapat terhindar dari dampak sistemik ancaman resesi global.
Bank Dunia (World Bank) dalam laporan Global Economic Prospects memprediksi pertumbuhan ekonomi global 2023 sebesar 2,9%, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sebesar 4,1%. Sementara itu, Badan Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 2,7% dari sebelumnya 2,9%.
Proyeksi atas pertumbuhan ekonomi global 2023 tersebut mau tidak mau berpengaruh pada kondisi ekonomi dalam negeri. Buktinya, Asian Development Bank (ADB) September lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 dari 5,2% menjadi 5%.
Awal Resesi Global!
Tren kenaikan suku bunga global akan terus berlangsung. Beberapa hari yang lalu (02/11), Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve atau The Fed, menaikkan Fed Fund Rate (FFR) sebesar 75 basis points (bps) ke level 3,75%-4,00%. Artinya, sudah empat kali berturut-turut The Fed mengerek suku bunga acuan sebesar 75 bps. Dan, ekonom memprediksi sampai dengan akhir 2023, suku bunga The Fed akan mencapai 5,25%.
Kenaikan suku bunga oleh The Fed berpengaruh pada penyusutan likuiditas global, yang dapat memperlambat pemulihan di seluruh kawasan negara dunia. Pengetatan moneter di AS telah menyebabkan investor menarik uang mereka keluar dari ekonomi negara-negara berkembang, dan memicu depresiasi mata uang di sebagian besar ekonomi dunia.
Depresiasi mata uang yang tajam akan berpengaruh pada tekanan inflasi melalui harga impor makanan dan energi yang lebih tinggi, dan memperburuk neraca transaksi berjalan. Hal tersebut mengakibatkan banyak negara mengalami kesulitan membayar impor atau membayar utang luar negerinya.
Perekonomian Nasional Trennya Positif
Di tengah ancaman resesi ekonomi global yang dibalut peningkatan risiko, perekonomian Indonesia triwulan III 2022 masih tumbuh impresif sebesar 5,72% (year on year/yoy). Bahkan, produk domestik bruto (PDB) harga konstan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum pandemi, yakni sebesar Rp2.976,8 triliun. Kondisi ini menandakan tren pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut dan semakin menguat. Konsumsi rumah tangga pertumbuhannya 5,39%, artinya engine pertumbuhan yang sudah kembali normal.
Selain itu, kinerja positif juga tecermin dari berbagai leading indicator ekonomi di bulan Oktober 2022. Indeks kepercayaan konsumen di angka baik, yaitu 124,7 dan penjualan ritel sebesar 204,3, atau tumbuh positif sebesar 4,51% (yoy). Prospek permintaan yang meningkat menjadi insentif bagi industri untuk meningkatkan produksi, terlihat dari purchasingmanagers’index (PMI) yang mengalami ekspansi di level yang semakin kuat.
Kinerja Perbankan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit perbankan per September 2022 meningkat menjadi Rp6.274,9 triliun atau tumbuh sebesar 11% secara tahunan (yoy). Di lain sisi, dana pihak ketiga (DPK) pada September 2022 tercatat tumbuh 6,77% (yoy) menjadi Rp7.647 triliun.
Tidak hanya itu, likuiditas industri perbankan pada September 2022 berada dalam level yang memadai dan terjaga. Rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) tercatat sebesar 121,62% dari sebelumnya pada Agustus 2022 sebesar 118,01%. Sedangkan, alat likuid/DPK (AL/DPK) sebesar 27,35% dari Agustus 2022 yang sebesar 26,52%. Angka tersebut diklaim jauh di atas ambang batas aman ketentuan yang ada, di mana masing-masing sebesar 50% dan 10%.
Sementara, angka non performing loan (NPL) sebesar 2,78%, di mana tingkat NPL terjaga di bawah 3%. Kredit modal kerja meningkat seiring peningkatan utilitas, serta kredit investasi mulai terakselerasi sesuai dengan kondusifnya iklim usaha.
Di lain sisi, kredit restrukturisasi COVID-19 kembali mencatatkan penurunan sebesar Rp23,81 triliun menjadi Rp519,64 triliun. Begitu pula dengan jumlah nasabah yang turut turun menjadi 2,63 juta nasabah dari sebelumnya pada Agustus 2022 sebanyak 2,75 juta nasabah.
Sejalan dengan pertumbuhan kredit, total outstanding Kredit Usaha Rakyat (KUR) per 30 September 2022 mencapai sebesar Rp442 triliun (lebih tinggi 25% dibandingkan dengan 2021) dan telah diberikan kepada 37,82 juta debitur. Berdasarkan jenis pembiayaan, penyaluran KUR tahun 2022 tersebut dilakukan untuk KUR supermikro sebesar 1,78%, KUR mikro sebesar 65,79%, KUR kecil sebesar 32,43%, dan KUR penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebesar 0,0071%.
Bauran Kebijakan
Sebagai salah satu cara dalam meredam pengaruh gejolak ekonomi global terhadap perekonomian nasional, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,75% atau naik 50 bps (20/10). Hal tersebut dilakukan untuk menekan angka inflasi yang di atas ambang aman (3% plus minus 1%) dan kurs rupiah terhadap dolar yang terus melemah.
BI juga memutuskan untuk memperpanjang pelonggaran rasio loan to value (LTV) atau financing to value (FTV) kredit maupun pembiayaan properti dan kendaraan bermotor (KKB) menjadi paling tinggi 100%. Artinya down payment (DP) atau uang muka kredit properti (untuk semua jenis properti, mulai rumah tapak, rumah susun, dan ruko) dan KKB cukup 0%. Baik pelonggaran LTV maupun KKB berlaku efektif per 1 Januari hingga 31 Desember 2023.
Tidak mau kalah dengan BI, OJK juga akan memperpanjang restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 yang akan berakhir Maret 2023. Rencananya, OJK akan memperpanjang restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 dengan menentukan kreditur dengan target tertentu secara sektor dan geografi.
Strategi Bank Saat Resesi
Adapun strategi bank yang harus dilakukan dalam merespons alarm waspada resesi global yaitu sebagai berikut. Pertama, bank harus memitigasi risiko kredit dan kecukupan likuiditas. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memahami sektor ekonomi dan debitur terdampak beserta kinerjanya. Bank juga harus mengaktifkan sistem peringatan dini dan menyusun skenario restrukturisasi serta upaya penyelamatan debitur.
Bank wajib hukumnya mempunyai peta navigasi baru untuk dapat menghadapi krisis yang ada. Proses mapping debitur untuk proses restrukturisasi harus segera jalan dan clear sehingga cash flow bank terlihat setelah melakukan treatment. Dengan begitu, bank mengetahui posisi Strengths-Weakness-Opportunities-Threats (SWOT) untuk dapat membuat penyesuaian rencana bisnis bank (RBB) 2023 dengan memperhatikan kondisi ekonomi global dan pengaruhnya pada ekonomi domestik.
Kedua, bank harus fokus pada industri yang prospektif. Bank harus tebang pilih pada sektor usaha yang eksis dan mampu bertahan di tengah ancaman resesi ekonomi 2023. Penulis menyarankan bank berorientasi pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal itu mengingat peran UMKM yang masih menyumbang sebanyak 73% terhadap total tenaga kerja nasional, 37,3% PDB nasional dengan transaksi sebesar Rp4.235 triliun (data Akumindo, ABDSI, & Kemenkop dan UKM, 2021).
Ketiga, bank juga harus mengoptimalisasi pengelolaan portofolio dengan mengidentifikasi portofolio yang rentan terpengaruh dan terdampak. Kemudian, bank juga harus mengoptimalisasi alokasi modal dan ketersediaan likuiditas dan menerapkan berbagai skenario krisis.
Keempat, implementasi digital banking. Layanan produk dan jasa harus dikonversi menjadi digital banking. Dengan digital banking, memungkinkan nasabah atau calon nasabah bisa melakukan berbagai transaksi kapan saja dan di mana saja, tanpa harus ke kantor cabang bank. Hal ini merupakan salah satu kemudahan yang diberikan digital banking kepada masyarakat. Sementara, dari sisi bank, digital banking membuat proses bisnis dan layanan semakin cepat sekaligus lebih efisien.
Semoga perbankan nasional cukup resilien dalam menangkal dampak sistemik pada perekonomian nasional. (*)