Stop Penjarahan Politik! Duh, Ketika Rakyat Miskin Dijadikan “Komoditas” Kekuasaan

Stop Penjarahan Politik! Duh, Ketika Rakyat Miskin Dijadikan “Komoditas” Kekuasaan

Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi InfoBank Media Group

POLITIK sedang panas. Sejumlah daerah dilanda demo. Dan, penjarahan yang menyasar rumah-rumah mewah, termasuk milik figur publik seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan bahkan simbol kekuatan ekonomi seperti Sri Mulyani, bukanlah sebuah drama kemarahan rakyat yang sederhana.

Presiden Prabowo Subianto pun sampai memanggil para ketua partai berkuasa, dan PDI-P yang berada di luar pemerintahan. Sebelumnya, Presiden juga memanggil tokoh-tokoh agama. Peristiwa yang sangat serius, sehingga perlu memanggil para tokoh penting. Ada terselip kata makar dari pernyataan Presiden Prabowo dan tentu ada koreksi terhadap fasilitas anggota DPR.

Tapi peristiwa penjarahan ini sungguh serius dan kritikal. Nah, jika meminjam pisau analisis ekonomi politik, kita harus jernih memilah: mana yang merupakan luapan frustrasi sosial dan mana yang merupakan rekayasa politik yang culas. Jadi, jika mengatakan bahwa ini murni akibat “kemarahan rakyat” adalah simplifikasi yang berbahaya. Ini sama halnya dengan mengobati kanker dengan plester.

Cover Majalah Infobank edisi September 2025.

Gejalanya mungkin tampak di permukaan—kelaparan, ketimpangan, beban hidup—tetapi tumor ganasnya adalah permainan kekuasaan yang keji dari para politisi yang haus legitimasi.

Menurut beberapa studi, dalam teori ekonomi politik, kemarahan massa adalah sebuah political commodity, komoditas politik yang bisa diperjualbelikan. Kondisi ekonomi yang sulit, dengan inflasi yang menggerus daya beli, pengangguran yang membengkak, dan ketimpangan yang semakin lebar, menciptakan bahan bakar yang mudah menyala.

Namun, bahan bakar tidak meledak dengan sendirinya. Perlu ada pihak yang dengan sengaja menyalakan korek api dan melemparkannya ke tumpukan bensin itu. Para elite politik yang tengah berjuang merebut atau mempertahankan kekuasaan memahami betul hukum ini. Mereka tidak menciptakan solusi, melainkan “memanfaatkan masalah”. Rakyat yang lapar dan frustasi tidak dilihat sebagai subjek yang harus dibantu, melainkan sebagai instrument of chaos, alat kekacauan.

Baca juga: Stop Anarki! Regain Trust: Copot Pejabat “Kaleng-kaleng” dan Anggota DPR “Borjuis”  

Mereka adalah collateral damage yang boleh dikorbankan demi satu tujuan tunggal: meraih tahta. Aksi penjarahan terorganisir yang menyasar target-target spesifik dan simbolik adalah indikasi kuat adanya political engineering. Ini bukan kerumunan massa yang spontan mengamuk karena lapar.

Bisa jadi ini adalah pasukan yang diarahkan untuk melukai citra pemerintah, menggambarkan negara dalam situasi failed state, dan pada akhirnya, melemahkan legitimasi kekuasaan yang berjalan. Sri Mulyani dipilih bukan kebetulan; ia adalah simbol kebijakan fiskal dan ekonomi pemerintah. Menyerangnya adalah cara untuk menyerang jantung kebijakan ekonomi negara.

Namun, para provokator ini hanya bisa berhasil karena tanah subur telah disiapkan oleh kegagalan  bersama. Satu, pemerintah tidak boleh lengah. Membangun ketahanan ekonomi rakyat kecil bukan lagi sekadar program, melainkan sebuah strategic necessity, keharusan strategis.

Seperti, bantuan sosial yang tepat sasaran, pengendalian harga pangan, dan lapangan kerja yang inklusif adalah social buffer, penyangga sosial, yang membuat rakyat tidak mudah diperdagangkan oleh politisi busuk. Rakyat yang perutnya terisi dan masa depannya terang akan lebih kebal terhadap racun provokasi.

Dua, dan ini yang paling menyakitkan, adalah gaya hidup para elite sendiri. Betapa ironisnya, ketika rakyat bersusah payah memenuhi kebutuhan dasar, para wakilnya dan pejabat negara memamerkan kemewahan yang vulgar. Mobil mewah, jam tangan bernilai miliaran, dan pesta pora di tengah krisis adalah sebuah political stupidity yang tak terampuni.

Setiap foto pamer kekayaan adalah amunisi gratis bagi para provokator untuk berkata, “Lihat! Mereka menghisap darahmu!”. Bayar pajak seolah untuk hidup bermewah-mewah para pejabat dan sejumlah anggota DPR. Gaya hidup mewah yang dipertontonkan itu adalah pengkhianatan terhadap amanah dan menjadi casus belli – membenarkan suatu tindakan provokasi bagi mereka yang ingin memicu kerusuhan.

Akhirnya, jangan terprovokasi dan terpancing. Rakyat, harus waspada dan cerdas. Jangan mau menjadi pawn, bidak catur, dalam papan catur kekuasaan mereka. Kemarahan kita harus dialihkan menjadi energi konstruktif untuk meminta pertanggungjawaban, bukan diarahkan menjadi perusakan yang justru akan menyengsarakan kita sendiri.

Pemerintah di satu sisi harus bekerja keras memulihkan ekonomi dan menjamin keadilan sosial. Di sisi lain, harus ada keberanian politik untuk membersihkan rumahnya sendiri, memastikan setiap pejabat hidup dengan kesederhanaan dan integritas, bukan kemewahan dan keserakahan.

Baca juga: Prabowo: Pimpinan DPR Akan Cabut Tunjangan dan Moratorium Kunker Luar Negeri

Pada akhirnya, peristiwa penjarahan minggu lalu adalah sebuah cermin. Ia memperlihatkan wajah asli para politisi yang tega mengorbankan rakyatnya, dan sekaligus menunjukkan titik-titik lemah bangsa kita. Mari jadikan ini pelajaran. Bukan untuk saling menghancurkan, melainkan untuk membangun sistem ekonomi politik yang lebih berkeadilan, di mana rakyat bukan lagi collateral damage, melainkan sole priority, satu-satunya prioritas.

Penjarahan yang terjadi minggu lalu adalah sebuah gejala, bukan penyakitnya. Penyakitnya adalah kerakusan politik segelintir elite dan kegagalan kita bersama membangun perekonomian yang berkeadilan. Mengobati gejalanya saja dengan “pentungan hukum” tanpa menyentuh akar penyakitnya, adalah sebuah ilusi yang lain, yang suatu hari nanti akan meledak lebih dahsyat lagi.

Penjarahan dan perusakan fasilitas umum yang terjadi minggu lalu itu tak lain adalah anti reformasi dan merusak demokrasi yang sehat.

Related Posts

News Update

Netizen +62