Stop Gagal Bayar dan Jangan Korbankan Pasar

Stop Gagal Bayar dan Jangan Korbankan Pasar

Oleh Drs Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR.

TEMA Majalah Infobank Nomor 519 Juli 2021 mengenai perkembangan kinerja industri keuangan non bank (IKNB) sangat menarik. Bahwa betul adanya masalah yang terjadi di sektor keuangan bukan semata-mata karena pandemi COVID-19, tapi lebih karena soal miss-management dan pengawasan terhadap pengelolaan di lembaga-lembaga keuangan.

Semua pihak yang terkait dengan pemilik perusahaan, manajemen, dan pengawas harus menghentikan dan menyelesaikan kasus-kasus gagal bayar merugikan pasar, terutama masyarakat yang menjadi konsumen. Apalagi, PKPU diduga menjadi tren dan cara bagaimana perusahaan keuangan menghindari kewajibannya. Bahkan, upaya pemailitan dilakukan perusahaan dengan melibatkan sejumlah nasabaah agar lolos dari kewajiban, padahal kewenangan pemailitan itu ada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana Undang-Undang.

Menurut saya, pasar keuangan Indonesia adalah sumber daya ekonomi yang besar dan perusahaan-perusahaan keuangan harus berkepentingan untuk menjaganya. Kejadian beberapa lembaga keuangan seperti perusahaan asuransi jiwa dan manajer investasi yang tidak mampu membayar klaim kepada nasabahnya, bisa melunturkan kepercayaan dan brand awareness yang sudah dibangun bertahun-tahun dengan cost dan sumber daya perusahaan yang sangat besar.

Kalau sampai terjadi masalah seperti gagal bayar seharusnya ada mekanisme agar perusahaan keuangan harus membayar kewajibannya. Dan tak kalah penting bagaimana pengawas menutup celah pelanggaran di sektor jasa keuangan dan menindak tegas para oknum-oknum pelaku yang kalau penegakknya lemah maka praktek yang sama akan diikuti oleh oknum-oknum lain. Sebab, penyelesaian dan tindakan hukumnya dinilai tidak seberapa dibandingkan keuntungan dari praktek-praktek fraud yang mereka dapatkan.

Lalu bagaimana dengan keberadaan OJK yang perannya melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan dan melindungi nasabah. Ketika kami sampai pertanyaan kepada OJK, apa artinya keberadaan regulator kalau OJK tidak mampu mengembalikan hak konsumen sebagai peran perlindungan nasabah? Jawabannya OJK tidak memiliki kewenangan itu. 

Boleh saja ada keinginan atau wacana untuk menciptakan pengawasan dan penyelesaian yang lebih tegas OJK diberikan kewenangan baru untuk menyita aset lembaga keuangan yang digunakan untuk membayar manfaat kepada masyarakat. Selama ini penyelesaian yang masuk ke ranah hukum membutuhkan waktu yang sangat lama dan proses pengembalian aset nasabahnya pun menjadi terkatung-katung.

Namun, apakah OJK akan mampu menggunakannya jika kewenangannya  ditambah? Tentu kita membutuhkan kepastian bahwa orang-orang yang ada di OJK harus memiliki integritas yang tinggi dan keberanian untuk menggunakan kekuasaanya. Kalau hanya berani tapi integritasnya diragukan bisa memunculkan abuse of power. Kalau integritasnya bagus dan tidak ada keberanian maka penambahan senjata ampuh juga tidak akan digunakan.

Selama ini pemerintah dan legislatif melalui Undang-Undang sebetulnya sudah memberikan kekuasaan besar kepada OJK untuk melakukan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan secara independen. Namun apakah kekuasaan besar tersebut sudah digunakan secara maksimal? Ini pun masih menjadi tantangan.

Yang jelas, kasus-kasus gagal bayar yang disebabkan oleh miss-management maupun pelanggaran good corporate governance (GCG) harus distop. Sekali lagi, pasar keuangan Indonesia sebagai sumber daya ekonomi yang besar harus dijaga agar kepercayaan masyarakat  terhadap sektor jasa keuangan tidak menurun. Kalau adalah masalah keuangan yang membeli perusahaan keuangan yang menghimpun dana masyarakat, jangan sampai pasar atau masyarakat yang menjadi korban, terutama mereka yang membeli produk asuransi sudah bertahun-tahun untuk memberi manfaat pendidikan anaknya. (*)

Related Posts

News Update

Top News