Oleh Sawidji Widoatmodjo, Chief Economist ECBIS Rescons, Dosen Pascasarjana Universitas Tarumanagara
KETIKA Indonesia dilanda krisis moneter 1998, salah satu solusi keluar dari kemelut ekonomi itu adalah membuat Bank Indonesia (BI) independen dengan UU No. 23/1999, yang dilengkapi dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sekarang, ketika krisis ekonomi kembali melanda akibat pandemi COVID-19 dan perang Rusia versus Ukraina, DPR menginisiasi draf Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).
RUU tersebut memang tidak mengutak-utik independensi bank sentral. Namun, membuka peluang bagi politisi menempati posisi puncak lembaga pengambil kebijakan keuangan, seperti BI, OJK, dan LPS.
Meski terbuka peluang untuk ditawar oleh eksekutif, tapi apakah itu perlu? Apakah ada kaitannya dengan kondisi krisis ekonomi? Dua pertanyaan ini cukup memadai untuk menilai proporsi RUU P2SK itu.
Independensi bank sentral – lebih luas lagi lembaga pengambil kebijakan keuangan – memang sulit dipertahankan dari gangguan politik. Contoh, kasus mundurnya Gubernur Bank Sentral India (Reserve Bank of India/RBI), Desember 2019. Gara-garanya, pemerintahan Modi berlebihan mengontrol RBI.
Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di Turki. Setelah memenangi pemilu 2018, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, memecat ketua bank sentral. Musababnya, sang ketua dianggap menahan bunga pinjaman di level tinggi guna menekan inflasi. Berikutnya dapat dicatat negara yang bank sentralnya mendapat tekanan politik antara lain Pakistan, Rusia, Nigeria, Afrika Selatan, dan Thailand.
Intervensi terhadap bank sentral tidak terbatas di negara sedang berkembang. Di negara maju, bank sentral juga tak lepas dari campur tangan politik. Di Jepang, bank sentral Jepang (Bank of Japan), misalnya, harus menerima alarm posisi independennya, ketika harus menyetujui untuk mengoordinasikan kebijakannya dengan pemerintah pada 2013.
Di AS, mantan Presiden Donald Trump mengakhiri tradisi yang sudah berlangsung dua dekade, yaitu Gedung Putih menghindari mengomentari kebijakan moneter, untuk menghormati independensi The Federal Reserve/The Fed. Bahkan, untuk kasus AS, di luar kontroversi komentar langsung Trump, ganguan pada The Fed itu cukup banyak dan sudah lama berlangsung. Akhtar & Howe (1991) mencatat, antara 1979 hingga 1990 tidak kurang dari 200 RUU yang disampaikan ke Kongres, berkaitan dengan perubahan struktur pada sistem kebijakan moneter di The Fed.
Tekanan Politik
Ada dua hal yang mendasari tekanan politik itu. Pertama, dasar argumentatif. Argumentasi yang paling sering dan sangat keras disuarakan politisi adalah memosisikan bank sentral yang steril dari pengaruh politik justru merupakan tindakan anti demokrasi (Palley, 2018).
Argumentasinya, karena tuntutan independensi bank sentral, maka yang di-refer menduduki posisi gubernur atau ketua adalah orang independen juga, biasanya diambil dari kalangan teknokrat. Mereka yang sudah berkuah peluh untuk mengumpulkan suara saat pemilu menjadi tidak memiliki peluang untuk menduduki posisi gubernur bank sentral. Sebab, posisi itu tidak ditentukan dengan cara pemilihan yang berbasis suara rakyat seperti anggota parlemen. Ini mengundang kejengkelan para politisi, sehingga mereka berusaha menggoyang posisi independensi bank sentral.
Kedua, dasar pragmatis. Dasar ini biasanya digunakan politisi untuk memenangkan pemilu atau menjalankan janji kampanye. Untuk memenangkan pemilu, petahana biasanya membuat program yang bersifat populis, yang menuntut defisit APBN. Untuk membiayai defisit itulah bank sentral ditekan untuk membeli obligasi pemerintah. Janji kampanye biasanya juga berisi program-program populis. Jika calon ini memenangi pemilu, dia harus memenuhi janjinya. Sama dengan petahana, program populis pemenang pemilu juga akan menuntut peran bank sentral untuk membiayai program tersebut.
Kedua dasar itu lazimnya terjadi di negara sedang berkembang. Di negara maju yang banyak digunakan adalah dasar pertama, meski dilakukan dengan sangat halus dan hampir tidak terdeteksi, seperti yang ditemukan Akhtar & Howe (1991) di AS.
Tekanan Ekonomi
Giliran mempertimbangkan krisis ekonomi. Menurut pemenang Nobel bidang ekonomi, Joseph Stiglitz, independensi bank sentral tidak selalu bisa bekerja dengan baik dalam kondisi krisis keuangan (Bloomberg, September 2019). Pendapat ini didukung temuan akademisi Tel Aviv University yang paling getol meneliti bank sentral, Alex Cukierman (2018), bahwa multiplier effect M1 di AS menurun pada kondisi kredit stagnan pascakrisis 2008. Artinya kebijaksanaan moneter tidak bisa bekerja dengan baik dalam kondisi ekonomi macet.
Best practice apa yang dikemukakan Stiglitz dan Cukierman itu diwujudkan Ben Bernanke dengan apa yang sekarang populer dengan istilah quantitative easing (QE). Ketika menjabat Ketua The Fed, Bernanke menginisiasi QE yang intinya mencetak uang US$3,5 triliun (periode 2008-2015) untuk membeli obligasi pemerintah dan beragam surat berharga korporasi.
Langkah The Fed itu diambil untuk mengatasi krisis keuangan 2008 yang disebabkan oleh ambruknya nilai subprime mortgage. Tindakan The Fed itu jelas mengingkari independensi bank sentral. Saat AS menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, selain dikomentari Presiden Trump, The Fed kembali melakukan QE senilai US$7,09 triliun hingga 21 September 2020.
Sialnya, pandemi COVID-19 melanda seluruh dunia, dan menebar krisis ekonomi. Akibatnya hampir semua negara ikut bergabung dengan AS dalam grup QE (termasuk Indonesia), yang berarti mengabaikan independensi bank sentral.
Jadi, secara alami lembaga pengambil kebijakan keuangan memang sulit untuk disterilkan dari pengaruh politik. Kondisi makin sulit kalau ekonomi sedang dilanda krisis. Tentu ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan penggunaan argumentasi pragmatis, membiayai program populis. (*)