Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
UANG ITU SEPERTI AIR. SELALU MENGALIR KE tempat-tempat lebih rendah, aman, dan nyaman. Uang layaknya keyakinan, tidak bisa dipaksa secara “brutal” berada di satu tempat yang sejatinya tidak membuat dirinya nyaman. Indonesia masih tetap menganut dual system, yaitu syariah dan konvensional.
Namun, sejak berlakunya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh, maka semua yang menyangkut sektor keuangan, khususnya di Aceh, harus halal. Harus syariah, sisanya haram. Yang tidak mau mengikuti aturan itu, harus angkat kaki. Dan, yang konvensional harus konversi. Harus jadi “mualaf”.
Aceh menjadi satu-satunya daerah yang boleh menabrak UU Perbankan yang masih membolehkan bank beroperasi secara dual system. Namun, di Aceh tidak boleh, karena Perda Nomor 11 Tahun 2018.
Bank Syariah Indonesia (BSI) merupakan bank terbesar di Aceh, karena hasil merger dari tiga bank, yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM), BNI Syariah, dan BRI Syariah. Bank Aceh milik Pemerintah Daerah (Pemda) Istimewa Aceh juga konversi menjadi syariah. Juga, ada beberapa bank seperti BCA Syariah, Bank Muamalat, Bank Maybank Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank BTN Syariah, Bank CIMB Niaga Syariah, Bank BTPN Syariah, dan Bank Mega Syariah.
Setelah Qanun Aceh diberlakukan, beberapa peristiwa terjadi. Pada Agustus 2022 lalu, tiga orang turis asing tidak bisa menggunakan kartu debit di Bank Aceh Syariah dan BSI Cabang Aceh. Sejumlah ATM-nya menolak kartu-kartu berlogo Visa di ATM kedua bank tersebut. Sempat viral soal ini.
Bisik-bisik dunia usaha tentang perlunya membuka peluang untuk layanan perbankan konvensional hanya sebatas bisik-bisik. Keluhan Pemda pun sempat mampir ke OJK. Namun, siapa yang berdaya? Hingga akhirnya terjadi down layanan dari BSI. Relatif lama offline dari BSI ini, dan menjadi diskusi terbuka tentang perlunya membuka kembali opsi konvensional.
Akhir bulan lalu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh mengusulkan revisi Qanun Aceh. Intinya, meminta diperbolehkan kembali beroperasinya bank konvensional. Pro dan kontra kembali terjadi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin lebih condong memperkuat bank-bank syariah di Aceh.
Pun, dengan para aktivis syariah. ”Kembali ke dual system, syariah dan konvensional, merupakan langkah mundur,” demikian tulis salah seorang pegiat syariah ke layanan WhatsApp Infobank.
Sementara, yang lain berpendapat, revisi Qanun ini justru merupakan langkah maju, karena masyarakat punya pilihan. Apalagi, dunia usaha, OJK, dan Pemprov Aceh juga mendukung revisi Qanun ini.
Pertanyaannya, setelah Qanun Aceh diberlakukan, apakah perbankan Aceh lebih digdaya? Mampu melayani seluruh masyarakat Aceh dan dapat mendorong ekonomi di Bumi Serambi Mekkah ini?
Menurut data Biro Riset Infobank (birI), sejak diberlakukan Qanun Aceh, justru perbankan Aceh mengalami kemunduran. Asli, tidak tumbuh. Itu bisa dilihat dari data dana masyarakat yang justru turun, tatkala dana masyarakat tumbuh. Bahkan, bank-bank pun susah “kencing” kredit. Perkembangan kredit juga anjlok, padahal kredit secara nasional tumbuh double digit.
Simak! Tahun 2019 posisi dana masyarakat di Aceh mencapai Rp42,24 triliun, tapi kemudian melorot menjadi Rp41,79 triliun di 2020. Pada Maret 2023 melorot lagi menjadi Rp37,39 triliun. Bank-bank di sana juga tidak “kencing” kredit. Tahun 2019 kredit pernah mencapai Rp38,27 triliun, tapi kemudian melorot menjadi Rp34,73 triliun.
Tidak hanya dari sisi perbankan. Peran ekonomi Aceh juga masih kalah dibandingkan dengan daerah-daerah se-Sumatra. Pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) Aceh kuartal/quarter empat (Q4) 2022 terhadap Q1 2023 anjlok 7,06%, meski Q1 2022 terhadap Q1 2023 masih tumbuh 4,63%. Tapi, tak semoncer di kawasan Sumatra.
Jadi, sesungguhnya wacana melakukan revisi terhadap Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang LKS bukanlah semata-mata karena kasus offline BSI. Tampaknya lebih luas. Ide melakukan perubahan tersebut juga mesti disikapi secara “legowo” lantaran yang hendak diubah tersebut merupakan produk buatan manusia.
Eh, ternyata dengan monopoli LKS di Aceh hasilnya belum maksimal. Justru yang tampak adalah “kemunduran”, dan kesadaran itu mulai ada. Buktinya Pemprov dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) juga masih merasakan akan kebutuhan layanan perbankan konvensional. Namun, tentu tidak mudah juga meyakinkan bank-bank konvensional untuk langsung buka lagi di Aceh yang sebelumnya terusir “paksa”.
Apakah nanti setelah diizinkan buka lagi di Aceh, tidak ada revisi? Tidak akan diubah lagi? Tidak mudah meyakinkan bank-bank konvensional yang sebelumnya sudah terusir dari Aceh itu. Perlu kepastian hukum. Tidak membuat kebijakan sesukanya, hanya untuk kepentingan sesaat dan emosional.
Jujur saja, kepercayaan sektor keuangan terhadap kepastian hukum saat ini rendah. Namun, tetaplah baik jika revisi terjadi, dengan memperbolehkan kembali bank konvensional buka “lapak” di Bumi Tanah Rencong. Uang selayaknya “agama” tidak bisa dipaksa meski secara “brutal” sekalipun.
Pelajaran penting dari Qonun Aceh juga bisa untuk membuat POJK Spin off Unit Usaha Syariah (UUS). Jangan memaksakan dan melawan “mazab” pasar, jika hanya mengejar market share tentu tidak harus melakukan pemaksaan yang tak masuk akal dan tidak adil. Hal ini juga harus menjadi pegangan OJK dan DPR Komisi XI yang akan menggodok RPOJK spin off. (*)