Nusa Dua, Bali — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengaku siap menjalankan amanat Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 mengenai Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), di mana turunan aturannya adalah penerapan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP).
Lewat aturan ini, industri perbankan akan dikenakan premi tambahan yang bakal digunakan sebagai resolusi bank untuk menghadapi krisis. Namun demikian, LPS tidak akan langsung memungut premi bilamana Presiden Joko Widodo telah meneken PP tersebut.
“Tapi pelaksanaan setelah ditandatangan (oleh presiden) pengenaan Premi PRP itu baru 3 tahun kemudian. Saya kira bagi perbankan ini waktu yang cukup untuk mereka melakukan persiapan,” tukas Ketua Dewan Eksekutif LPS, Halim Alamsyah di sela Seminar Internasional “Facing Softening Global Economy: The Need to Strengthen Bank Resolution Preparedness” di Nusa Dua, Bali, Rabu (21/8).
Sebagai informasi, dalam draft atau rancangan PP mengenai PRP yang sudah diserahkan ke Istana, Kementerian Keuangan setelah melakukan rembukan dengan LPS menetapkan besaran premi antara 0 persen hingga maksimal 0,007 persen dari total aset bank. Adapun Premi PRP ini hanya dikenakan bagi bank dengan nilai aset lebih dari Rp1 triliun.
Besaran nilai Premi PRP ini ditargetkan mencapai sekitar 2 persen dari Produk Domestik Bruto tahun 2017, dan akan dikumpulkan dalam jangka waktu pungutan 30 tahun.
Sementara itu di tempat yang sama, Direktur Keuangan PT Bank Central Asia Tbk, Vera Eve Lin menyatakan, perseroan melihat secara keseluruhan dan diharapkan besaran preminya tidak memberatkan atau terlalu besar. “Kalau nambah cost ya pasti ada. Tapi kalau 0,007 persen saya pikir buat bank-bank masih oke lah,” tuturnya. (*)