Jakarta – Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai pemblokiran rekening dormant yang dilakukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) hanya merugikan masyarakat, sehingga sudah sewajarnya harus dicabut. Menurutnya, rekening itu hak nasabah sebagai konsumen, bukan hak dari PPATK.
“Pertama, dari sudut pandang konsumen, tentu langkah pemerintah ini merugikan karena pada dasarnya rekening tersebut milik konsumen. Pembekuan ataupun penutupan harus persetujuan dari pemilik rekening. Tanpa persetujuan konsumen, PPATK melalukan hal yang ilegal,” ucap Nailul dalam keterangannya dikutip, 1 Agustus 2025.
Ia bilang, meskipun dalam UU P2SK ada aturan yang memperbolehkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memblokir rekening yang terindikasi transaksi mencurigakan, tapi itu bukan ranah PPATK. Itu yang harus dipahami oleh PPATK terkait hak warga negara.
Yang kedua, lanjut Huda, penyalahgunaan rekening ditimbulkan dari adanya sistem yang buruk dengan pengawasan yang lemah dan langkah mitigasi yang nyaris tidak ada. PPATK harus dicek terlebih dahulu apakah memang digunakan untuk hal yang negatif atau tidak.
Baca juga: Dana Bansos Rp2,1 T Mengendap di Rekening Dormant, Puan Desak Audit Menyeluruh
“Bisa saja karena ter-PHK atau tidak ada pemasukan, akhirnya rekeningnya tidak ada transaksi. Saat ini, waktu mencari pekerjaan bisa sampai delapan bulan. Jadi ketika ada masyarakat yang keterima kerja, maka ia harus repot urus pembukaan lagi,” imbuhnya.
Contoh lainnya adalah masyarakat di pedesaan yang tidak aktif menggunakan rekening karena transaksi mereka ya kadang enam bulan atau satu tahun sekali. Tidak memiliki ATM, tidak ada merchant untuk bertransaksi dan mereka juga tidak mampu membeli smartphone.
“Apakah mereka harus melakukan transaksi setiap hari dengan pergi ke daerah yang lebih maju? Pola pikir yang mengharuskan ada transaksi setiap tiga bulan sekali adalah pola pikir sesat,” ujar Nailul.
Ketiga, ada biaya, baik langsung maupun tidak langsung, yang ditimbulkan dari adanya pemblokiran rekening ini. Biaya langsung berupa biaya yang ditimbulkan dari pembukaan kembali rekening yang tidak bersalah. Ada biaya transportasi (termasuk parkir) dan waktu yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk mengambil kembali hak-nya.
Apakah PPATK atau perbankan mau menanggung dengan memberikan kompensasi? Biaya tidak langsung ditimbulkan dari transaksi yang tertunda akibat pemblokiran rekening yang harusnya bisa digulirkan untuk perekonomian namun tidak bisa.
Keempat, penyalahgunaan rekening justru semakin aktif rekeningnya. Mereka pasti aktif dalam bertransaksi dengan menjadi rekening penampung judi online atau bahkan pemain judi online yang adiktif.
“Jadi yang pasif (tidak tersangkut penyalahgunaan) dibekukan, justru yang aktif (bisa tersangkut penyalahgunaan) dibiarkan. Ada kekhawatiran ada jual beli rekening tidak aktif, namun seharusnya yang diberantas adalah mafia jual beli rekening, bukan rekeningnya,” tambahnya.
Kelima, dalam UU No.8 Tahun 2010, perintah untuk pemblokiran dimiliki oleh Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim. Dalam UU P2SK pemblokiran bisa diperintahkan juga oleh OJK.
Baca juga: Batalkan! Pembekuan Rekening “Tidur” oleh PPATK, Itu “Memalukan” Pemerintah dan Merusak Kepercayaan Bank
Pertanyaannya adalah apakah PPATK termasuk salah satunya? Yang bisa dilakukan adalah meminta perbankan untuk menunda transaksi, itu pun tetap dari perbankan kuasanya.
Selain itu, yang ditunda adalah transaksi yang mencurigkan dengan syarat yang ketat, namun bukan pembekuan rekening. Jadi PPATK harus belajar menempatkan diri bukan lembaga yang punya kuasa sepenuhnya.
Keenam, dalam waktu dekat akan diluncurkan Payment ID, yang dapat melihat arus transaksi keuangan masyarakat.
Nailul menyebut lebih baik pemerintah menggunakan Payment ID untuk membuktikan dugaan terjadi penyimpangan oleh pemilik rekening tertentu. Itu dulu yang dilakukan baru bisa menyimpulkan rekeningnya digunakan untuk hal yang baik atau tidak. (*)
Editor: Galih Pratama










