Oleh Eko B. Supriyanto
Krisis ekonomi global terus meluas. Setelah Argentina, Venezuela, dan kini Turki. Pemerintahan Recep Tayyip Erdogan yang percaya diri terhadap pekonomiannya toh akhirnya terbakar oleh kebijakan Donald Trump. Perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat (AS) terus menekan perekonomian dunia, khususnya Turki. Normalisasi suku bunga The Fed memicu aliran dana masuk ke AS. Transmisi krisis terbesar boleh jadi dari krisis mata uang, termasuk di Indonesia—jika rupiah terus terdepresiasi.
Pertumbuhan ekonomi yang 5,27% cukup untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa dikatakan buruk. Namun, ada beberapa fakta yang perlu diwaspadai. Pertama, sampai dengan awal Agustus 2018, aliran dana yang keluar dari pasar saham Indonesia sudah mencapai Rp48,7 triliun. Jika dijumlah dengan aliran inflow pasar obligasi, maka aliran dana keluar mencapai Rp36,9 triliun. Jika dibandingkan dengan dua tahun terakhir, kondisi ini mencemaskan investor.
Kedua, current account deficit (CAD). Negara-negara yang terkena krisis, seperti Turki dan Argentina, memiliki CAD yang relatif lebar. Turki memiliki CAD 5,9% dan Argentina 5% terhadap product domestic bruto (PDB). Indonesia memiliki CAD pada triwulan II sebesar 3,04% dari PDB—angka ini melebar dari triwulan I yang sebesar 2,21%—karena menipisnya neraca perdagangan barang. Kabar terakhir, neraca perdagangan barang minus US$2,02 miliar, tertinggi sejak 2013.
Karena dua hal itu, ekonomi Indonesia dalam bahaya laten. Badai ekonomi global sudah ada. Sementara, pemerintah sendiri sekarang sedang sibuk untuk memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Para menterinya juga sedang sibuk mengurusi partainya dalam pemilihan legislatif. Bahkan, sejumlah menteri kini sibuk kampanye sebagai anggota legislatif. Jadi, siapa yang peduli terhadap kondisi perekonomian Indonesia dan global.
Boleh jadi hanya Bank Indonesia (BI) yang tampak bekerja sendiri dengan kebijakan suku bunga untuk menahan agar rupiah tidak longsor lebih dalam. Harusnya para menteri ekonomi sektor riil memikirkan—bagaimana mengurangi CAD, meningkatkan devisa dan pasokan devisa ke dalam negeri. Di sinilah kelemahan kepemimpinan ekonomi saat ini yang harus dibereskan oleh Joko Widodo (Jokowi). Upaya memanggil pengusaha dan konglomerat untuk menukarkan dolar AS (US$) tidak banyak direspons jika tidak ingin dikatakan tidak “ngefek” besar.
Sejarah membuktikan bahwa penyehatan perbankan akibat krisis selalu dipolitisasi dan dikriminalisasi. Lihat saja kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sejak 1997 terus dipolitisasi dan dikriminalisasi hingga sekarang. Politisasi dan kriminalisasi juga terjadi pada penyehatan Bank Century pada 2008.
Penyelesaian yang dilakukan oleh lima presiden tidak diindahkan. Kasus Syafruddin A. Tumenggung (SAT) dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SAL) adalah bukti terjadinya kriminalisasi kebijakan. Padahal, lebih dari 18 tahun lalu negara sudah sepakat diselesaikan secara out of court settlement (diselesaikan di luar pengadilan) dan menjadi ranah perdata, dan sudah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Penyelesaian BLBI sudah diputuskan oleh lima presiden, dari Soeharto sampai dengan pemerintahan SBY. Diputuskan sesuai dengan Undang-Undang dan Tap MPR RI. Juga, sudah dinyatakan selesai oleh BPK (2002 dan 2006). Namun, kini justru BPK (2017) atas pesanan KPK menyatakan ada kerugian negara. Apakah ini karena BPK diisi oleh para politisi?
Apakah hal itu tidak akan menjadi hantu bagi pengambil kebijakan, jika saatnya 10 tahun mendatang atau sesuka selera penguasa baru dinyatakan bersalah. Boleh jadi, kata seorang investor, Indonesia sulit bergerak maju dan dikalahkan Vietnam dalam hal investasi karena kita sibuk “menggoreng” masa lalu dan saling menyandera.
Jika BLBI (1998) terhadap bank-bank terus dipermasalahkan setiap akan pilpres, bailout terhadap Bank Century (2008) dipermasalahkan hingga sekarang—kira-kira apakah konsep bail-in akan bisa berjalan dan adakah pejabat yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), seperti Menteri Keuangan (Menkeu), Gubernur BI, Ketua OJK, dan Ketua LPS, berani mengambil kebijakan—ketika terjadi kondisi bank-bank mulai “batuk-batuk”?
Seperti kasus-kasus penyehatan bank selalu dipolitisasi dan yang dipidanakan adalah pejabatnya—siapa yang mau menjadi pahlawan kesiangan dan akhirnya dipidanakan kelak? Sri Mulyani Indrawati, Menkeu, juga pernah mengalami dan trauma ketika krisis 2008 (Bank Century) sehingga beliau harus “kos” ke Bank Dunia. Dan, akhirnya “diputihkan” secara politik dan hukum oleh pemerintahan Jokowi karena menjadi Menkeu RI.
Nah, seperti dalam protokol krisis yang tertuang dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) di mana presiden menjadi kunci dalam penetapan krisis. Apakah presiden akan berani menyatakan Indonesia sedang dalam krisis, meski kenyataannya sudah krisis? Apakah ada yang berani memulai untuk mengusulkan siapa bank-bank sistemik yang bermasalah?
Tentu presiden akan berpikir seribu kali jika hendak mengatakan bahwa negara sedang krisis. Alasannya, tidak ada di dunia mana pun juga, pemerintah akan tetap bertahan ketika terjadi krisis. Selalu ganti presiden atau perdana menteri, seperti di negara-negara Eropa beberapa tahun sebelumnya. Lalu, apakah bank-bank akan dibiarkan begitu saja di saat krisis karena tidak ada yang mengambil keputusan?
Langkah yang paling baik yang setidaknya dilakukan adalah mengurus diri sendiri. Dunia usaha dan perbankan ada baiknya mempersiapkan daya tahan diri sendiri, melakukan mitigasi risiko dan tidak terlalu ekspansi serta tetap memegang likuiditas. Pengalaman sebelumnya, likuiditas akan menjadi raja ketika krisis terjadi. Jangan ikut-ikutan main politik. Sejarah membuktikan negara tidak pernah membela pejabatnya yang mati-matian mengatasi krisis.
Bersiap-siaplah dan memperbaiki perahu sendiri yang bocor dan jangan banyak berharap kepada pemerintah di tahun politik ini. Jujur, bahaya laten krisis sudah ada karena cuaca perekonomian global juga sudah ada tanda-tanda telah terjadi badai. Dan, itu akan menentukan arah politik Indonesia ke depan.(*)
Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank