Should Islamic Window (UUS) be Converted into a Full-Fledge Islamic Bank (BUS)? A Case Study in Indonesia

Should Islamic Window (UUS) be Converted into a Full-Fledge Islamic Bank (BUS)? A Case Study in Indonesia

Oleh Dr. Anggito Abimanyu, M.Sc. dan Raeef Abdullah Al-Tamimi, Ph.D.

TULISAN ini mengeksplorasi potensi spin off bank sebagai strategi restrukturisasi bank syariah di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa peraturan yang ada saat ini menghambat inisiatif tersebut. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menciptakan lingkungan yang lebih kondusif dengan menerapkan peraturan yang tidak terlalu ketat.

Secara khusus, penulis mengusulkan perlunya fleksibilitas dalam persyaratan permodalan bank syariah, dan menganjurkan pendekatan berbasis prinsip yang memberdayakan bank untuk melakukan spin off sesuai dengan kebutuhan mereka. Pilihan antara mendirikan bank umum syariah (BUS) atau unit usaha syariah (UUS) di bank konvensional merupakan keputusan strategis yang signifikan bagi institusi yang ingin memperluas pasar perbankan syariah di Indonesia.

Kedua struktur tersebut (BUS atau UUS) menawarkan kelebihan dan kekurangan yang berbeda, sehingga memerlukan analisis yang berbeda pula dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Meskipun struktur BUS, seperti Bank Syariah Indonesia (BSI), mendapatkan keuntungan dari modal besar dan manajemen yang berdedikasi, kurangnya mitra yang setara menghambat fungsi antarbank dan pembiayaan bersama. BUS menawarkan operasi dan branding perbankan syariah yang terfokus, sedangkan UUS memanfaatkan infrastruktur dan pengenalan merek yang ada di bank konvensional.

Kedua struktur tersebut menawarkan efisiensi yang unik. Stabilitas tetap sama di kedua struktur, dalam hal ini profitabilitas dan total aset berdampak positif terhadap stabilitas, sementara rasio biaya terhadap pendapatan dan kecukupan modal memiliki dampak negatif. Pada akhirnya, pilihan optimal antara BUS dan UUS bergantung pada prioritas masing-masing bank, fokus yang diinginkan, dan tujuan strategis.

Berdasarkan kajian komprehensif terhadap literatur yang ada, ditambah dengan analisis praktik perbankan syariah global dan Indonesia, yang mencakup pemodelan regresi dan survei konsumen terhadap produk-produk syariah, maka penting untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang mengatasi aspek regulasi spin off institusi dan peningkatan operasional bank syariah secara keseluruhan.

Pertama, jika spin off memerlukan regulasi, seperti disarankan oleh Asmaaysi (2023), OJK harus membuat peraturan pelengkap, seperti yang ditegaskan oleh Trinugroho dkk (2021). Penting untuk memastikan bahwa insentif yang diberikan kepada BUS sepadan dengan yang diberikan kepada UUS, sehingga mendorong lanskap persaingan yang adil.

Selain itu, untuk meningkatkan pengawasan terhadap BUS dan khususnya UUS, direkomendasikan untuk segera menerapkan kerangka tata kelola (governance), risiko (risk), dan kepatuhan (compliance) atau GRC yang terintegrasi. Langkah strategis ini ditegaskan oleh rumitnya operasional bisnis yang berbasis syariah dan menuntut kemampuan yang diperlukan, sebagaimana disoroti oleh OJK (2022).

Tulisan ini berkontribusi pada kajian perbankan syariah dengan menggunakan pendekatan metode campuran untuk menyelidiki efektivitas peraturan spin off yang ada secara empiris. Temuan tersebut, didukung oleh hasil yang konsisten di seluruh metode, menyimpulkan bahwa kerangka kerja yang ada saat ini menghambat peningkatan kinerja perbankan syariah.

Lebih dari sekadar kritik, penelitian ini juga menawarkan wawasan berharga untuk merumuskan kebijakan perbankan syariah yang efektif di Indonesia. Pada akhirnya, penelitian ini bertujuan untuk memperkaya literatur yang ada tentang keuangan Islam melalui kontribusi empiris dan rekomendasi kebijakannya.

Penulis adalah staf pengajar di Department of Economics and Business, Vocational School, Gadjah Mada University Yogyakarta, Indonesia.

Tulisan lengkap dapat diunduh di https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/etikonomi/article/view/35082

Related Posts

News Update

Top News