SAFRUDDIN A. Tumenggung (SAT), mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dijatuhi vonis Pengadilan Tipikor 13 tahun hukuman. Vonis itu dinilai kalangan perbankan menimbulkan berbagai komentar. Bagaimana kebijakan pemerintah yang sudah digariskan oleh 5 Presiden, sejak Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati dan Pemerintahan SBY.
Pertanyaan mendasar, apakah ini sebuah kepastian hukum dimana keputusan pemerintah diadili setelah 18 tahun? Bagaimana jika terjadi krisis kembali – apakah ada yang berani melakukan kebijakan? Kebijakan masa lalu dilihat sekarang dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
Saat ini, harus diakui badai krisis sudah mulai ada. Ekonomi Indonesia tidak buruk-buruk amat dengan pertumbuhan ekonomi 5,27% (Twr II) dapat dikatakan masih cukup tangguh. Diakui ada pelemahan rupiah, tapi masih dinilai tidak seperti ketika krisis tahun 1998.
Banyak analis yang menyebut Indonesia jauh dari krisis jika melihat indicator ekonomi. Situasi tahun 1998 berbeda dengan tahun 2018. Akan tetapi, jika melihat posisi current account deficit (CAD) Indonesia yang 3,04% dari PDB. Posisi ini masih tidak lebih baik dari Thailand dan Malaysia. Jadi, meski jauh dari krisis maka tentu tidak over confidence yang pada akhirnya akan melemahkan kuda-kuda kita jika tidak mempersiapkan diri.
Meski demikian, harus diakui badai sudah tampak dengan ditandai krisis Venezuela, Turki dan Argentina serta Pakistan. Juga, cuaca dan angin kencang sudah terasa dengan ditandai keringnya likuiditas dan arus dana asing yang keluar mengikuti gerak suku bunga di AS.
Lihat saja ketika terjadi gejolak seperti sekarang ini yang dipicu oleh kenaikan suku bunga di AS, maka kondisi makin lebih runyam, karena terjadi pelarian arus dana keluar hingga mencapai Rp54,1 triliun dari pasar modal. Bandingkan dengan aliran modal masuk di tahun 2016 mencapai Rp107 triliun dan Rp170,3 triliun di tahun 2017. Kondisi ini memberi signal bahwa terjadi kelangkaan likuiditas.
Tidak hanya badai, cuaca dan angin. Saat ini juga sedang terjadi petir yang ditandai dengan memanasnya Geopolitik dan Trade War antara China dan AS. Perang dagang antar kedua Negara itu memicu kegoncangan pasar keuangan dunia sehingga berdampak pada kondisi nilai tukar rupiah.
Kondisi ketatnya likuiditas ini diperkirakan masih akan terjadi sampai tahun 2019 mendatang. Bukan karena ada Pemilu 2019, tapi lebih banyak karena faktor global – karena ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) dari The Federal Reserve. Ekspektasi kenaikan suku bunga lah yang terus mendorong akan terjadinya perang suku bunga bank-bank.
Hari-hari ini kita sudah masuk dalam era tight money policy – kebijakan uang ketat. Likuiditas cepat bergerak dan bank-bank masuk pada hukum flight to quality – nasabah pindah ke bank yang dinilai lebih baik.
Semoga tidak ada bank yang jatuh, tapi jika situasi depresiasi rupiah makin dalam maka bukan tak mungkin ada bank yang kesulitan. Jadi, tetaplah bersiap-siap dan tidak over confidence, karena likuiditas menyangkut psikologis dan ekspektasi – bank sekuat dan sebesar apapun – pengalaman kalau terjadi rush maka bank akan berhenti “bernafas”.
Mari menjaga suasana tetap kondusif meski ada gegap gempita Pemilu 2019. Kepastian hukum hanya ada di “tangan” para politisi. Tidak salah memikirkan diri sendiri, terutama setelah kriminaslisasi SKL terhadap ketua BPPN Safruddin A. Tumenggung dan politisasi bail-out Bank Century yang tak ada hentinya. Kebijakan masa lalu dinilai dengan kaca mata sekarang dengan kepentingan politik kekuasaan. Soal BLBI (Penyehatan Perbankan) selalu muncul ketika menjelang pemilihan presiden, itu sejak Soeharto hingga sekarang ini.
Siapa yang berani membuat keputusan jika kebijakan dikriminalisasi dan dipolitisasi? Tentu tidak ada yang ingin menjadi pahlawan kesiangan meski pemerintah sudah punya UU Jaring Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), tapi siapa yang pertama berani mengusulkan?
Apakah bisa dijamin kebijakan yang dilakukan sekarang dalam 10 tahun ke depan tidak disoal? Coba tanya pada rumput yang bergoyang.(EBS)