Setelah BPJS Kesehatan Tak Meraih Hadiah Nobel

Setelah BPJS Kesehatan Tak Meraih Hadiah Nobel

Oleh Rizky Triputra, Anggota Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI).

NAMA BPJS Kesehatan sempat membuat banyak orang terkejut ketika masuk dalam daftar nominasi Nobel Perdamaian 2025. Di antara sederet tokoh dan lembaga dunia, kehadiran sebuah institusi jaminan sosial dari Indonesia terasa seperti pengakuan tersendiri. Dunia menoleh karena kecepatan dan jangkauan BPJS dalam melindungi lebih dari 250 juta penduduk dinilai luar biasa, sebuah arsitektur jaminan sosial modern yang lahir dari semangat gotong royong.

Ini bukan kali pertama nama Indonesia bergaung di panggung Nobel. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar yang kisahnya mendedah sejarah dan ketidakadilan, disebut-sebut beberapa kali menjadi kandidat Nobel Sastra pada dekade 1980-2000-an. Pram menjadi simbol bahwa dari negeri yang jauh dari pusat kekuasaan dunia, ada suara yang berani menulis kebenaran.

Namun, takdir berkata lain, penghargaan itu akhirnya jatuh kepada tokoh oposisi Venezuela, María Corina Machado. Ia dianggap mewakili perjuangan demokrasi dan kebebasan sipil di tengah represi politik negaranya. Mungkin, di situlah cermin yang seharusnya kita lihat.

Baca juga: Purbaya Siapkan Rp20 Triliun untuk Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan

Antara Kebanggaan dan Kenyataan

Selama lebih dari satu dekade, BPJS Kesehatan telah mengubah wajah layanan publik Indonesia. Sebelum program ini berjalan, banyak keluarga harus berutang atau menjual harta demi berobat. Kini, setidaknya di atas kertas, setiap warga punya hak yang sama untuk mendapatkan perawatan.

Melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan BPJS Kesehatan sejak 2014, Indonesia untuk pertama kalinya berhasil menerapkan sistem perlindungan kesehatan universal secara menyeluruh. Capaian ini tergolong luar biasa cepat jika dibandingkan dengan negara lain.

Inggris, misalnya, membutuhkan hampir tiga dekade sejak berdirinya National Health Service (NHS) pada 1948 hingga benar-benar menjangkau seluruh penduduk secara merata. Universal Coverage Scheme (UCS) Thailand baru mencapai cakupan universal pada 2002, setelah melalui masa transisi bertahun-tahun. Indonesia mencapainya hanya dalam waktu sekitar 10 tahun dengan skala populasi jauh lebih besar dan geografi yang jauh lebih menantang. Itulah sebabnya, nominasi Nobel terasa wajar bagi Indonesia.

Namun, di balik capaian itu, pekerjaan rumah kita masih panjang. Antrean pasien di rumah sakit tetap mengular, tenaga medis masih terbatas, dan birokrasi kadang lebih melelahkan daripada penyakit itu sendiri.

Dalam layanan kesehatan mental, misalnya, data BPJS Kesehatan mencatat pembiayaan sebesar Rp6,77 triliun untuk 18,9 juta kasus selama 2020-2024. Skizofrenia menjadi diagnosis dengan beban biaya terbesar. Catatan itu menunjukkan jangkauan yang luas, tapi juga memperlihatkan sisi lainnya, yakni layanan primer belum siap dan banyak puskesmas belum memiliki psikolog atau konselor kesehatan jiwa.

Kasus tragis yang menimpa mahasiswa Universitas Udayana, Timothy Anugerah Saputra, pada 15 Oktober 2025 lalu, seharusnya menjadi tamparan yang lebih keras bagi kita semua. Ia diduga mengakhiri hidupnya setelah mengalami tekanan dan perundungan di lingkungan kampus, sebuah tragedi yang menyingkap betapa rentannya kesehatan mental generasi muda.

Dalam konteks ini, fungsi BPJS Kesehatan mestinya tak berhenti pada pembiayaan kuratif saja, tapi turut menjadi pintu bagi intervensi preventif dengan memperkuat literasi kesehatan jiwa, menyediakan kanal konseling yang terintegrasi dengan kampus dan komunitas, serta memastikan akses psikologis bagi korban perundungan dan keluarganya.

Baca juga: Harap-harap Cemas Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Nobel yang Lebih Nyata

Masuk sebagai nominasi Nobel seharusnya bukan cermin untuk berlama-lama mengagumi diri. Cukuplah menjadi pengingat saja bahwa sistem yang kita banggakan tak boleh berhenti di seremoni. Dunia boleh memuji kecepatan dan skala BPJS Kesehatan, tapi di ruang tunggu rumah sakit, di balik formulir registrasi, masih banyak orang yang menunggu bukti dari janji keadilan sosial itu.

Nobel mungkin hanyalah simbol, tak lebih. Tapi, pesannya selalu jelas, perlindungan yang adil tidak bisa diserahkan pada logika statistik semata. Ketika María Corina Machado di Venezuela berjuang agar rakyatnya bisa bersuara, perjuangan kita di sini mestinya memastikan bahwa rakyat kecil tak hanya tercatat sebagai peserta, tapi sungguh dilayani sebagai manusia dengan martabat yang sama.

Keberhasilan jaminan sosial bukan ditentukan oleh berapa banyak angka yang bisa dikutip pejabat, melainkan oleh seberapa sedikit orang yang menanggung sakitnya sendirian. Kita tidak cukup hanya dengan sistem yang cepat membayar klaim. Yang lebih penting, harus mampu mencegah rakyat jatuh miskin hanya karena ingin sembuh.

Nobel memang tidak datang ke Indonesia tahun ini. Tapi, ujian yang sesungguhnya selalu datang setiap hari di puskesmas atau selasar rumah sakit daerah, tempat orang menunggu kabar kelanjutan hidup keluarganya. Penghargaan yang nyata adalah ketika pelayanan publik bisa bekerja tanpa perlu sorotan dunia. Ketika negara hadir bukan demi pengakuan, tapi karena kesadaran bahwa melindungi rakyat bukanlah pencapaian, melainkan kewajiban moral. Dan, mungkin, itulah Nobel yang sebenarnya. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62