Jakarta – PT Aryaputra Teguharta (APT) telah mengajukan dua gugatan perdata terkait uang paksa (dwangsom) dan tidak dibayarkannya total dividen lebih dari Rp1,3 triliun oleh PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN).
Hal ini dilakukannya sebagai tindak lanjut dari upaya melindungi hak dan kepentingannya atas 32,32 persen saham BFIN yang dimiliki APT selaku lawful owner berdasarkan Putusan PK MA No. 240/2006, APT kembali mengajukan gugatan terkait transaksi ilegal dan pembeli beritikad buruk. Gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1 Oktober 2018.
Dalam gugatannya, APT meminta pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan akuisisi yang menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh saham milik APT yang dilakukan oleh salah satu Indonesian tycoon, Garibaldi Thohir atau yang dikenal sebagai Boy Thohir pada tahun 2011 yang bertindak selaku pemimpin Trinugraha Capital & Co SCA (konsorsium bentukan TPG Capital dan Northstar Group Pte Ltd).
Pheo Hutabarat, dari HHR Lawyers selaku kuasa hukum APT mengatakan, konsorsium Trinugraha Capital sudah seharusnya mengetahui adanya sengketa kepemilikan saham di dalam PT BFI Finance Indonesia Tbk. Padahal, saat transaksi itu terjadi sudah jelas secara hukum bahwa APT saat itu sebagai pemilik sah atas 32,32 persen saham BFIN.
Ia mengungkapkan, untuk memfasilitasi dilaksanakannya tindakan transaksi ilegal tersebut, Trinugraha Capital & Co SCA sengaja didirikan sebagai perusahaan cangkang (special purpose vehicle/SPV) di Luxemburg hanya kurang dari satu bulan, sebelum dilaksanakannya akuisisi saham BFIN oleh Trinugraha.
Untuk menyesatkan khalayak umum seakan-akan modal berasal dari dalam negeri, digunakanlah nama Trinugraha yang merupakan trademark nama (grup) perusahaan yang sering digunakan oleh Boy Thohir.
Namun berdasarkan gugatan, didalilkan bahwa sumber dana untuk pengakuisisian tersebut sama sekali bukan bersumber dari beliau, tetapi diduga berasal dari mafia investor internasional.
“Mana mungkin ada investor kredibel mau menggelontorkan ratusan juta dolar uangnya sendiri untuk membeli perusahaan yang sahamnya dalam sengketa, apalagi investor itu main tabrak tidak mau peduli dengan risiko hukum berupa putusan pengadilan inkracht yang dapat merugikannya nanti saat ia menjadi pemegang saham,”paparnya di Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2018.
Karenanya, kata Pheo, motif konsorsium Trinugraha Capital membeli saham BFI yang sedang dalam perkara diduga bukan murni alasan investasi komersial belaka, melainkan ada modus udang di balik batu atas transaksi pembelian itu.
“Secara yuridis, konsorsium Trinugraha dapat diduga sebagai pembeli saham beritikad buruk atau bahkan dapat diduga sebagai penadah,” imbuhnya.
Pheo juga menyebutkan, konsorsium Trinugraha Capital dari sejak awal sudah tahu ada perkara ini saat beli saham BFI, sehingga diduga cari jalan keluar termudah dengan segera mengalihkan saham yang dikuasainya kepada private investment bank lainnya, yaitu Compass Banca S.P.A, anak perusahaan 100 persen dari Mediobanca S.P.A.
Selain itu, terdapat fakta pula bahwa seiring legal action yang dilakukan APT akhir-akhir ini ini, semua investor bonafide mundur dari rencana pembelian saham BFI. Mulai dari Warbug Pincus, Baring Private Equity, semua diberitakan mundur atau tidak jadi mengakuisisi saham-saham yang dijual oleh konsorsium Trinugraha Capital setelah mengetahui kalau barang yang mereka mau beli itu sedang dalam sengketa, apalagi ada risiko hukumnya.
“Bahkan, sudah ada Penetapan Penundaan PTUN Jakarta, kok malah Mediobanca dan Compass Banca ini maju dengan kacamata kuda menghiraukan risiko ini. Apalagi kalau bukan lanjutan tindakan mafia investor internasional?,” kata Pheo.
Compass dan Mediobanca juga ditarik sebagai pihak tergugat yang dimintakan pertanggungjawabannya sebagai pembeli beritikad buruk atau diduga sebagai penadah, yaitu membantu eksodus Konsorsium Trinugraha Capital dari BFI (illegal short selling).
“Sudah jelas ada sengketa, sudah jelas ada risiko, melanggar prinsip hukum caveat emptor, semakin jelas lah kalau Pak Boy Thohir dkk ini memang pembeli beritikad buruk yang gemar melanggar hukum, atau biasanya disebut mafia investor internasional,” imbuhnya.
Ia menyatakan, pihaknya mengajukan tuntutan kepada Boy Thohir , Trinugraha Capital & Co SCA, TPG Capital, Northstar Group Pte Ltd, Compass Banca S.P.A., Mediobanca S.P.A., PT BFI Finance Indonesia Tbk dkk. dihukum ganti kerugian lebih dari Rp8 triliun.
Lebih lanjut, Pheo menyampaikan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) mesti dimintakan pertanggungjawaban hukumnya, karena melakukan pembiaran atas tindakan melawan hukum yang terjadi di pasar modal.
Menurutnya, OJK dan BEI seharusnya memberikan perlindungan hukum atas kepemilikan saham yang merupakan asas hukum fundamental dari industri pasar modal yang wajib ditegakkan sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Padahal, pihaknya sudah berulang kali mengingatkan kepada OJK dan BEI bahwa ada cacat materiil dan pelanggaran asas hukumasas hukum fundamental caveat emptor terkait saham-saham BFI dalam kepemilikan BFI dan transaksi pengaliahn sahamnya.
“Tapi OJK dan BEI sama sekali tidak mau menegakan hukum dan amanat yang diatur berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku. Keduanya memilih bungkam dan malah memfasilitasi transaksi-transaksi ilegal tersebut,” pungkasnya. (*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More